makalah poligami sesuai sistematika prof khoiruddin nasution
POLIGAMI

Makalah
ini di buat Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata
Kuliah: Perkawinan Islam
Dosen
Pengampu: Prof. Dr. Khoiruddin Nasution M.A
Disusun
Oleh:
Muhamad Supriyanto (14350017)
Al
Ahwal Asyakhsiyyah
Fakultas
Syariah Dan Hukum
Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga
BAB I
Pendahuluan
1.
Latar Belakang Masalah
Tidak sedikit kaum wanita
mengerutkan kening, terkejut, merinding serta menggetarkan bahu ketika
mendengar kata ”poligami”, boleh jadi hal itu akibat tersebarnya berita tentang
wanita yang menderita karena dizalimi pria yang tidak bertanggung jawab kepada
allah. Dia menikahi wanita hanya semata mata terdorong hawa nafsu tanpa membaca
perasaan kaum wanita yang telah allah ciptakan sebagai pendamping pria dan
sebagai ibu semua manusia. Kenyataan ini sering tereksploitasi oleh media massa
baik cetak maupun elektronik sehingga membuat wanita secara umum semakin takut
dan membenci poligami.
Apakah rasa takut yang menyelimuti
kaum wanita seperti ini akan dibiarkan terus, Siapa yang bersalah bila kaum
hawa terkejut mendengar kata poligami? Mungkinkah seorang berani mengharamkan
yang telah dihalalkan oleh allah? Ada dua hal yang yang semestinya mendapat
perhatian semua pihak, yaitu tuntutan nafsu yang tidak mendapat saluran yang
sah dan lemahnya akidah yang mendorong manusia mengikuti bujukan setan. Bagaimanakah
konsep poligami menurut hukum perkawinan isalam yang cocok diterapkan pada masa
sekarang? Karena banyknya masalah masalah yang mencuat dalam masayarakat
semakin kompleks.[1]
Maka pada kesempatan ini
kami akan memaparkan beberapa konsep mengenai poligami dilihat secara
konvensional undang undang di indonesia serta perbandingan antara negra negara
islam mengenai hal poligami.
2. Sistematika Penulisan
·
Bagaimana konsep poligami secara konvensional?
·
Konsep perundang undangan poligami di
indonesia?
·
Konsep perundang undangan poligami dinegara
muslim serta perbandingannya?
·
Nash dalam poligami?
·
Tujuan atau ilat hukum dalam poligami?
·
Kesesuaian tujuan poligami dalam konsep fiqih
konvensional dan kontemporer?
BAB II
ISI
A. Konsep poligami konvensional
Poligami adalah perkawinan seorang suami dengan lebih dari
seorang isteri dalam waktu
yang bersamaan. Lawan dari poligami adalah monogami. Dalam perspektif hokum Islam, poligami dibatasi sampai maksimal empat orang isteri. Ada
dua ayat pokok yang dapat
dijadikan acuan dilakukannya poligami, yakni QS. al-Nisa’ (4): 3 dan QS.
al-Nisa’ (4): 129. Poligami sudah berjalan seiring perjalanan sejarah umat
manusia, sehingga poligami
bukanlah suatu trend baru yang muncul tiba-tiba saja. Para ulama berbeda pendapat mengenai
ketentuan dan hukum poligami. Di antaramereka ada yang menyetujui poligami
dengan persyaratan yang agak longgar dan ada yang mempersyaratkannya dengan ketat. Di antara mereka juga ada yang
melarang poligami,
kecuali karena terpaksa (sebagi rukhshah) dalam
kondisi-kondisi tertentu. Yang pasti hukum Islam tidak melarang poligami secara mutlak (haram) dan juga
tidak menganjurkan secara
mutlak (wajib). Hukum Islam mengatur masalah poligami bagi orang-orang yang memang memenuhi syarat untuk melakukannya. Pelaksanaan poligami,
menurut hokum Islam, harus didasari oleh terpenuhinya keadilan dan
kemaslahatan di antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Namun, kenyataannya banyak praktik
poligami yang tidak mengindahkan
ketentuan hukum Islam tersebut, sehingga masih jauh dari yang diharapkan.
IMAM SYAFII
Dalam
al Umm. Karangan imam as Syafii dan sekaligus pendiri madzhab al Shafii menyatakan
bahwa islam membolehkan seorang muslim memepunyai istri maksimal empat
berdasarkan al Qur’an dan hadis Nabi. Dari al Qur’an dicatat ayat an Nisa (4):3
pada bagian lain, pada judul poligami maksimal empat, ditulis dasar al qur’an:
al Ahzab (33):50 berhubungan dengan giliran isteri, nafkah dan waris mewarisi,
al Mu’minun (23):5-6 berbicara tentang dua hal yakni halal menikahi wanita
merdeka dan budak dan boleh melakukan aktivitas bersenang senang dengan
kemaluan isteri dan budak, tetapi tidak boleh dengan binatang, sementara hadis
yang menunjukan poligami maksimal empat, dicatat dari cerita seorang pria
bangsa thaqif yang masuk islam dan memiliki istri sepuluh, Nabi memerintahkannya
untuk mempertahankannya empat dan menceraikan sisanya.
IMAM MALIK
Membolehkan
poligami maksimal empat orang isteri bagi suami yang merdeka dibuktikan dalam kitab al muwatta
berupa kasus pria dari tsaqif yang masuk islam dan mempunyai isteri sepuluh,
dan nabi memerintahkan kepadanya untuk memilih empat dan menceraikan lainnya
IMAM HANAFI
Membolehkan
poligami maksimal empat dengan syarat berbuat adil terhadap isteri isterinya
dan mendapat perlakuan adil ini menjadi hak isteri.
IMAM HAMBALI
menyebutkan batas
maksimal seorang laki-laki nerpoligami hanyalah empat istri dan harus diikuti
dengan sikap adil, seperti pembagian giliran terhadap istri-istri sehingga tidak diperbolehkan
condong pada salah satu istri dengan landasan An Nisa ayat 3 dan kasus
Ghaylan bin Salamah dan kasus Nawfal bin Muawwiyah.
Dapat diseimpulkan bahwasannya antar
pemahaman imam keempat diatas secara umum sama yaitu perintah poligami
kebolehan bukan menjadi anjuran yang tentunya harus didasari keadilan antara
isteri isterinya,
Ada beberapa pandangan ulama mengenai hukum
berpoligami antara lain:
1. Al Jashshas, poligami boleh dengan syarat laki laki berlaku adil, ukuran keadilan
disini adalah keadilan secara material dan non material.
2. Al Zamaksary: poligami boleh dilakukan dengan syarat laki laki berlaku adil
3. Al Qutubi’: poligami boleh dilakukan dengan syarat adanya perlakuan aadil
yang dilakukan oleh suami dalam hal kasih sayang, hubungan biologis, pergaulan,
dan pembagian nafkah,
4. Al Syaukani: poligami boleh, asal laki laki dapat berbuat adil.
5. Sayyid Qutubh: praktik poligami merupakan ruksah, bisa dilakukan hanya dalam keadaan
darurat dan benar benar mendesak, dan kebolehan tersebut masih disyaratkan laki
laki harus berbuat adil.
6. Al Maraghi: kebolehan poligami merupakan kebolehan yang dipersulit, dan hanya dalam kondisi
darurat saja.[2]
Ada beberapa pendapat mengenai jumlah istri
dalam berpoligami:
1. Pendapat orang orang Sadad: islam membolehkan poligami tanpa batasan
2. Pendapat sebagian ulama Syiah: memeperbolehkan poligami dengan jumlah 9
wanita dengan dasar atas pemahaman Q.S an nisa ayat empat bahwa kata matsna
watsulasa waruba’ huruf wawu tersebut adalah wawu dengan makna penjumlah
artinya dua ditambah tiga ditambah empat.
3. Ulama Dhohiriyah: membolehkan dengan jumlah yang fantastis yaitu 12 wanita
mereka beralasan bahwa nas al qur’an tersebut dipahami dengan dua dua, tiga
tiga, empat empat.
4. Menurut Qurtubi: bahwa pendapat diatas merupakan pendapat pendapat yang
sesat yang tidak boleh di ikuti ia beralasan bahwa ketiga pendapt tersebut
sesungguhnya tidak paham dengan al qur’an dan hadis, bahwa maksud ayat tersebut
adalah bermakna pengulangan.[3]
B. Konsep Poligami Dalam Undang Undang Negara Republik Indonesia
Ketentuan poligami sebagaimana telah tercantum
dalam undang undang No 1 tahun 1974 sebagai berikut:
Pasal
3 ayat 1 dan 2 :
·
Pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang
pria hanya diperbolehkan mempunyai satu istri. Seorang wanita hanya boleh
memiliki satu orang suami.
·
Pengadialan dapat meberikan izin kepada suami
untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak pihak yang
bersangkutan
Pasal 4
ayat 1 dan 2 :
·
Dalam hal seorang suami akan beristri lebih
dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 undang undang ini, maka
ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
·
Pengadilan yang dimaksud dalam ayat 1 pasal
ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari
seorang apabila:
ü
Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai isteri
ü
Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan
ü
Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Perspektif KHI
KHI memuat
masalah poligami ini bagian pada IX dengan judul, beristri lebih dari satu
orang yang diungkap dalam pasal 55 sampai 59 . Pasal 55 dinyatakan:
1. Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan,terbatas hanya sampai
empat orang istri.
2. Syarat utam beristri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku adil
terhadap istri isteri dan anak anaknya.
3. Apabila syarat utama yang disebut ayat 2 tidak mungkin dipenuhi, suami
dilarang beristri lebih dari satu orang.
Lebih lanjut dalm KHI pasal 56 dijelaskan:
1. Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
pengadilan agama
2. Mengajuka permohonan izin seperti yang dimaksudkan pada ayat 1 dilakukan
menurut tata cara sebagaiman diatur dalam bab VIII PP No 9 Tahun 1975.
3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa
izin dari pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
dijelaskan:
Pengadilan
agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari
seseoarang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjelankan kewajiban sebagai isteri
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapt disembuhkan
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan
Tampak pada
pasal 57 KHI diatas, pengadilan agama hanya memberikan izin kepada suami yang
akan beristeri lebih dari seorang apabila terdapat alasan alasan sebagaimna
disebutkan pasal 4 uu perkawinan tahun 1974. Jadi pada dasarnya pengadilan
dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang
apabila dikehendaki pihak pihak yang bersangkuta. Hal ini diperjelas dalam
pasal 58 KHI yaitu:
1. Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat 2 maka untuk memperoleh
izin pengadilan agama, harus pula dipenuhi syarat syarat yang ditentukan pada
pasal 5 uu No 1 tahun 19974 yaitu:
a. Adanya persetujuan istri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri istri dan
anak anak mereka.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b peraturan pemerintah No 9
tahun 1975, persetujuan istri atau isteri isteri dapat diberikan secara
tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis,
persetujuan ini dipertegas dengan perstujuan lisan isteri pada sidang
pengadilan agama.
3. Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a tidak diperlukan bagi seorang
suami apabila isteri atau isteri isterinya tidak mungkin di mintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila
tidak ada kabar dari isteri atau isteri isterinya sekurang kurangnya dua tahun
atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.
Dilanjutkan
dengan penjelasan paal 59 KHI yaitu:
Dalam
hal ini isteri tidak mau memberikan persetujuan dan permohonan izin untuk
beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur
dalam pasal 55 ayat 2 dan pasala 57, pengadilan agama dapat menetapkan tentang
pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan
dipersidangan pengadilan agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami
dapat mengajukan banding atau kasasi.[4]
Adapun
perundang-undangan Indonesia lainnya yang membahas poligami yakni:
a.
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 pasal 40, 41, 42, 43 dan 44.
b.
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang
Izin Perkawian dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil pasal 4,5,6,7,8,9,10 dan 11.
c.
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang
Perubahan atas PP No 10/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai
Negeri Sipil.[5]
C. Konsep UU Poligami di negara negara muslim
Dalam
rangka membandingkan uu poligami dinegara negara muslim akan dipaparkan
beberapa negara yang memiliki aturan tentang poligami antara lain turki, mesir,
iran, bangladesh, pakistan, yordania
Turki
adalah negara muslim pertama yang melarang poligami secara mutlak, dengan
lahirnya UU Civil turki tahun 1926, ada pun aturan poligami pada undang undang
sebelumnya, yaitu tentang hak hak keluarga( the ottoman law of family rights)
tahun 1917, suami boleh melakukan poligami dengan syarat harus dapat berlaku
adil kepada para isterinya. Tetapi seorang isteri berhak membuat ta’lik talak
pada saat akad nikah bahwa suaminya tidak akan nikah lagi. Kalau suami
melanggar ta’lik tersebut isteri berhak meminta cerai, dengan demikian, pada
prinsipnya UU turki Tahun 1917 membolehkan poligami dengan syarat berlaku adil
terhadap isteri isterinya.
Mesir,
pada tahun 1985 dengan UU (Amandement Law) No.100 Tahun 1985 menetapkan aturan
poligami. Dalam amandemen ini ditentukan, poligami dapat menjadikan alasan
cerai bagi isteri apabila menyebabkan kesusahan ekonomi, baik dicantumkan dalam
ta’lik talak atau tidak. Disamping itu pengadilan harus memberitahukan kepada
isteri atau isteri isterinya tentang rencana poligami tersebut. hanya saja,
untuk menilai poligami menyebabkan problem ekonomi dalam rumah tanggadiberi
tenggang satu tahun, sementara setelah satu tahun terlewat isteri tidak berhak
menuntut cerai kepada suaminya dengan alasan kebutuhan ekonomi akibat poligami.
Iran,
dengan family of protection act of 1967, yang diperbaharui tahun 1967,membuat
cara sendiri untuk menjamin hak hak
wanita dalam oraktek poligami, yakni sebagai tambahan sterhadap ketetapan bahwa
suami harus mendapat izin dari pengadilan yang ditentukan oleh terpenuhinya
atau tidak syarat: kemampuan ekonomi, berbuat adil diatara isteri, serta harus
adanya izin dari isteri atau karena adanya penyakit yang menjadi alasan.
Bangladesh
dan Pakistan, dengan the muslim family law ordinance tahun 1961 menetapkan boleh
berpoligami dengan izin dari pengadilan terlebih dahulu.
Lebanon,
tahun 1962 setelah berlakunya UU tentang hak hak keluarga (the law of te rights
of the family) kembali memperbolehkan poligami maksimal dengan empat isteri,
dengan kewajiban berlaku adil terhadap isteri isterinya tetapi istri dapat
membuat ta’lik talak yang bisa digunakan sebagai alasan cerai isteri, akan
tetapi disini ada golongan druze lebanon yang melarang keras terhadap poligami
sejak tahun 1948 berdasarkan UU keluarga druze( the druze family law act).
Tunisia, UU keluarga( code of personal
status/majallat al ahwal asyakhsiyyah no 6 tahun 1956) dan ditetapkan tahun
1957 oleh presiden habib bourguibe, melarang poligami secara mutlak dan
menghukum orang yang melanggar aturan tersebut. Bahkan pada tahun 1964, pelaku
poligami bukan saj dapat dikenakan hukuman, tetapi dinyatakan perkawinannya
tidak sah. Alasan tunisia melarang adalah, bahwa poligami berlaku hanya pada
masa perkembangannya, tetapi dialrang setelah menjadi masyarakat budaya,
berkaitan mengenai dalil al Qu’an poligami harus berlaku adil fakta sejarah
mengatakan hanya dapat dilakukan oleh Nabi muhammad semata.
Yordania,
dengan UU keluarga tqhun 1951 yang diperbaharui dengan UU Yorania Tahun 1976
menetapkan, isteri berhak memasukan ta’lik talak, bahwa poligami suami dapat
menjadikan alasan cerai bagi sang isteri, dengan syarat harus dicatatkan dalam
akad nikah.
Maroko,
UU Tahun 1958 menetapkan isteri berhak memasukan dalam ta’lik talak hak cerai
isteri jikalau suami melakukan poligami, dan jika ada kekawatiran duami tidak
bisa berbuat adil maka tidak diperbolehkan berpoligami.
Irak,
dengan UU Tahun 1959 menetapkan: bahwa poligami harus ada izin dari hakim,
sementara poligami tanpa seizin hakim dianggap tidak sah. Bahwa poligami dapt
dijadikan alasan cerai oleh isteri ada tidaknya izin tergantung pada: kemampuan
ekonomi suami dalam memberikan nafakah, ada atau tidaknya alasan hukum atau
maslahah, adanya kekawatiran suami tidak dapat berlaku adil. Akan tetapi
ketentuan poligami tanpa izin hakim dihapus dengan UU No. 1 Tahun 1963, satu
hal yang menarik pada UU poligami irak adalah adanya pengecualian terhadap para
janda yakni boleh tanpa mengikuti aturtan yang berlaku.
Somalia, UU keluarga somalia menetapkan, poligami
hanya dapat dilakukan dengan izin pengadilan, karena ada lasan hukum, yakni:
istri mandul dengan bukti surat dokter, isteri dipenjara lebih dari dua tahun,
istri meninggalkan rumah tanpa izin lebih dari satu tahun, atau ada kebutuhan
sosial.
Al
Jazair, membolehkan poligami maksimal 4 isteri, dengan syarat ada alasan
hukum dan mampu berbuat adil terhadap isteri isterinya. Namun poligami dapat
menjadi alasan perceraian bagi isteri, kalau dilakukan tanpa sepengetahuannya.
Libya, memebolehkan poligami dengan syarat
lebih dahulu mendapat izin dari pengadilan. Untuk memberikan izin atau tidak
pengadilan memeppertimbangkan: kondisi sosial, kemapuan ekonomi, fisik laki
laki yang mumpuni.
Dengan demikian, mayoritas perundang undangan
perkawinan muslim kontemporer mempersulit bolehnya poligami hanya saja cara
yang digunakan berbeda antara satu dengan negara lain, perbedaan ini disamping
karena faktor sosial yang berbeda juga karena perbedaan kebutuhan dan tuntutan.
Adapun variasi aturan mengenai poligami dapat
dikelompokan menjadi enam:
1. Boleh poligami secar mutlak
2. Poligami dapat menjadi alasan cerai
3. Poligami harus ada izin dari pengadilan
4. Pembatasan lewat kontrol sosial
5. Poligami dilarang secara mutlak
6. Dikenakan hukuman bagi yang melanggar aturan tentang poligami.[6]
Jika
melihat klasifikasi diatas maka indonesia masuk dalam kategori nomer tiga dan
enam yaitu harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari pengadilan dan akan
mendapatkan sanksi jika melakukan poligami diluar ketentuan yang berlaku.
Berlanjut
kepada klasifikasi diatas negara al jazair dan turki masuk dalam kelompok
pertama. Sedangkan negara negara yang masuk kelompok kedua, diantaranya: mesir,
turki, yordania, lebanon, maroko dan syiria. Adapun negara yang masuk dalam
kelompok ketiga antara lain: syiria, iran, irak, pakistan, bangladesh, libya,
somalia dan indonesia.
Sedangkan
negara yang melarang poligami secara mutlak adalah turki, lebanon dan tunisia
sedangkan negara negara yang menghukum pelaku poligami yang melanggar peraturan
ialah tunisia, iran, irak, mesir, pakistan dan indonesia.
D. Nash poligami
a. Q.S. An Nisa (4) : 3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا
طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ
أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
b. “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[7]Maka
(kawinilah) seorang saja[8]
atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya”. ( Q.S.An Nisa 4:3)
a. Hadis Nabi:
عن الحارث بن قيس بن عميرة قا ل أسلمت وعندي
ثمان نسوة وأسلمن معى وهاجرن معي فقا ل إختر أربعا منهن فجعلت أقول للتى أريد إمسا
كها أقبلي وللتي لا أريد إمسا كها أدبري
b.
Arti Nash
Dari
Harits bin Qois bin Umairah, ia berkata,”aku masuk islam sedangkan aku beristri delapan, dan mereka semua masuk islam dan
berhijrah bersamaku, maka beliau
(rasulullah saw) bersabda, pilihlah empat orang dari mereka. Maka aku berkata kepada mereka yang aku pilih, mari
sini dan aku berkata kepada yang akan
aku lepas, berpalinglah dariku (H.R. Thabrani)
c.
Conten nash
Berdasarkan
nash diatas yaitu Q.S An nisa 4:3 dan hadis nabi yang diriwayatkan oleh Tabrani maka hukum poligami diperbolehkan
maksimal empat isteri..
a. Q.S An Nisa 4:129
وَلَن تَسْتَطِيعُوا أَن تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ
حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۚ
وَإِن تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
b. Arti Nash
“Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.
dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. ( Q.S An Nisa 4:129).
c. Conten Nash
Berdasarkan Q.S An Nisa 4:129 maka diperbolehkannya
poligami dengan syarat dapat berlaku adil terhadap isteri isteri.
Asbabun Nuzul
Mikro An Nisa Ayat 3:
Para
mufassir sepakat asbabun nuzul ayat ini berkaitan dengan perbuatan para wali
yang tidak adil terhadap anak yatim yang berada dalam perlindungan mereka,
seperti riwayat dari urwah bin zubair: ia bertanya kepada bibinya, Aisyah
tentang sebab turunya ayat ini,. Lalu aisyah menjelaskan ayat ini turun
berkenaan dengan anak yatim yang berada dalam perwaliannya, kemudian wali itu
tertarik dengan kecantikan dan harta anak yatim itu dan mengawininya, tetapi
tanpa mahar.
Dalam
riwayat lain disebutkan: Beliau menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan
dengan seorang laki laki yang mempunyai banyak isteri, lalu ketika hartanya
habis dan ia tidak sanggup lagi menafkasi isterinya yang banyak itu, ia
berkeinginan mengawini anak yatim yang berada dalam perwaliaanya dengan harapan
dapat mengambil hartanya untuk membiayai kebutuhan isteri isteri lainnya.[9]
Asbabun Nuzul
Makro An Nisa Ayat 3:
Secara
historis poligami telah dilakukan sebelum islam datang bahkan agama yahudi,
nasrani memperbolehkannya, bukan hanya itu para nabi sebelum nabi Muhammad ada
yang isterinya sampai 100 dan memiliki beberapa gundik, bangsa arab pada waktu
telah mengenal banyak isteri karena sudah membudaya atau melanjutkan ajaran
ajaran yang ditinggalkan oleh sesepuh mereka yang menganjurkan poligami,selain
itu, bangsa arab pada zaman nabi sering melakukan peperangan sehingga banyak
yang gugur dimedan perang dan meninggalkan para janda dan anak yatim serta
banyaknya sahabat yang tertarik akan wanita wanita dalam penaklukan perang,
sehingga banyak sahabat yang menikahi wanita wanita dalam penaklukan perang.
Tujuan Hukum
Berdasarkan
pemahaman diatas dapat ditegaskan bahwa tujuan mengapa diperbolehkannya
poligami dengan jumlah maksimal empat adalah untuk melindungi, menjaga dan
memelihara para janda dan anak yatim.
Kesesuaian Tujuan Poligami antara Konsep
Konvensional dan Undang Undang Perkawinan
Apabila
kita melihat ayat ayat yang berkaitan poligami menurut konsep fiqih
konvensional untuk meraih suatu kebahagian dan keberhasilan hanya mencakup
bagaiman seorang suami dapat melakukan
keadilan diantara para isteri isteri, berbeda hal dengan permasalahan
kontemporer yang mana isu isu mengenai poligami mencuat kepermukaan sehingga
perlu adanya rekontruksi terkait permasalahan yang ada, hal ini membuat para
ulama serta pemerintah membuat suatu
undang undang untuk mencapai tujuan poligami
demi tidak adanya pihak pihak yang dirugikan. Bila melihat uu kontemporer di
indonesia maupun di negara negara muslim kita akan menemukan aturan aturan yang
tidak dimuat oleh fiqih konvensional semisal aturan mengenai harus adanya izin
dari pengadilan secera hukum formal dalam hal poligami. Oleh karena itu fiqih
kontemporer sebenarnya lebih menyempurnakan hakikat tujuan poligami dengan
memeberikan sanksi sanksi terhadap pelaku yang tidak sesuai atau melanggar
undang undang nyang telah ditetapkan.
Hal
ini sangat membantu bagi para isteri isteri yang ingin menggugat cerai bila
mana dilihat dari undang undang yang
mewajibka ta’lik talak kepada suami sebagai alasan untuk cerai darinya
apabila keadilan serta ekonomi suami lemah. Apabila melihat konteks untuk jaman
sekarang konsep kontemporer memberikan jaminan serta melindungi wanita dan
sangat perlu diapreasi atas pembentukan undang undang ini.
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Poligami
adalah pernikahan yang dilakukan
seseorang lebih dari satu isteri yang
mana suami dituntut dalam undang undang maupun agama untuk berlaku adil
terhadap isteri isteri dan anak anaknya dengan jumlah maksimal adalah empat
orang isteri dan pada dasarnya keempat imam yaitu imam maliki hanafi syafii dan
hambali memeliki kesamaan dalam menetapkan jumlah poligami serta syarat itu
sendiri, Konsep keadilan disini adalah suami mampu memberikan nafkah secara materil dan non
materil.
Perundang
undangan poligami baik di indonesia maupun dinegara negara muslim diatur secar
legal dan sistematis, aturan aturan tersebut ada yang menolak secara mutlak
poligami dan ada yang memperbolehkannya dengan syarat khusus, hal tersebut
karena pemahaman mengenai nash Al Quran Hadits dan permsalahan yang ada dalam seuatu negara atau
pun kultur budaya yang menyebabkan berbeda beda dalam menetapkan undang undang
oleh suatu negara.
kesesuain
tujuan antara konsep fikih konvensional dengan konsep undang undang perkawinan sama
sama memiliki tujuan yang sejalan akan tetapi konsep perundang undangan cenderung
memahami perkembangan waktu sehingga lebih cocok dan sempurna untuk diterapkan
dengan jaman sekarang sesuai dengan elastisitas fiqih itu sendiri.
Komentar
Posting Komentar