biografi pendiri pondok pesantren nurul ummah kotagede YOGYAKARTA
Biografi Pendiri dan Pengasuh PP Nurul Ummah
1. Biografi Pendiri (KH. Ahmad Marzuqi Romly)
Giriloyo adalah sebuah dusun di bawah
kaki perbukitan Imogiri. Masyarakat sekitar mengenal dengan nama
Pajimatan, suatu bukit yang terkenal di daerah kawasan selatan
Yogyakarta karena disanalah raja-raja kerajaan Mataram Islam dimakamkan.
Daerah Giriloyo ini sebenarnya tidak
terlalu jauh dari pusat pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (sekitar
15 km). Hanya saja, daerah ini terpencil dan berada di kaki bukit.
Suasana khas pedesaan yang sepi dan sunyi namun penuh dengan
kebersamaan dan kedamaian sangat mewarnai daerah tersebut.
Suasana sepi yang mewarnai Giriloyo itu
pada pertengahan abad ke-18 M sedikit demi sedikit berubah dengan
munculnya kelompok pengajian yang diasuh oleh KH. Romli, seorang ulama
yang menjadi Mursyid Tarekat Syathariyah. Seluruh murid-muridnya
diberi ijazah tarekat tersebut dengan maksud agar mereka memiliki
amalan-amalan harian yang pada akhirnya bisa lebih mendekatkan diri pada
Allah SWT.
Keseriusan dan ketekunan dalam
pengelolaan pengajian membuat KH. Romli seakan melupakan sunnah rasul
yang lain, yaitu melangsungkan pernikahan. Maka ketika dirasa jamaah
pengajian yang dibinanya itu semakin lama semakin menunjukkan
peningkatan, beliau segera melaksanakan pernikahan dengan putri dari
Kiai Ali. Dari pernikahan dengan putri Kiai Ali ini, lahir 5 orang putra
yang salah satunya adalah bernama Ahmad Marzuqi.
KH. Ahmad Marzuqi lahir pada tahun 1901 M
di desa tempat ayahnya tinggal, yaitu di Giriloyo Wukirsari Imogiri
Bantul sebagai putra bungsu. KH. Romli sangat berkeinginan kepada si
bungsu untuk dapat menggantikan perjuangan yang telah dirintisnya,
mendidik orang-orang untuk lebih dekat pada Allah. Untuk mewujudkan
cita-citanya tersebut, sangat wajar apabila KH. Marzuqi ketika baru
berumur 4 tahun sudah dididik dengan konsentrasi penuh.
Pada tahun 1905 oleh KH. Romli, Ahmad
Marzuqi dipondokkan di Pondok Pesantren Kanggotan Pleret Bantul di bawah
bimbingan KH. Zaini. Karena masih kecil, maka pada waktu itu beliau
hanya diajari kitab-kitab ubudiyah seperti Safinatun Najah, Fathul Qorib dan lain-lain. Di pondok Kanggotan ini beliau belajar sampai tahun 1910 M.
Setelah lima tahun belajar di Kanggotan,
Ahmad Marzuqi meneruskan belajarnya ke Pondok Pesantren Termas yang
berada di Pacitan Jawa Timur. Pada saat itu, Pondok Termas berada di
bawah bimbingan KH. Hafidz Dimyati, beliau belajar berbagai ilmu agama,
seperti ilmu syara’, tasawuf, dan lain-lain. Di pondok ini, beliau
belajar selama 4 tahun, dari tahun 1910 sampai tahun 1914 M.
Selanjutnya, Ahmad Marzuki melanjutkan ngangsu kaweruh (mencari
ilmu) di Pondok Pesantren Watucongol Muntilan Magelang pada tahun 1915
sampai tahun 1918. Kehausan Ahmad Marzuki dengan ilmu-ilmu keislamaan
terobati di bawah bimbingan KH. Dimyati. Dengan semangat, beliau
mempelajarinya.
Kemudian, dari Watucongol, Ahmad Marzuqi
meneruskan pengetahuannya ke pondok Pesantren Somolangu Kebumen Jawa
Tengah. Dibawah bimbingan KH. Abdurrauf, beliau mendapat kepercayaan
untuk mengajar santri (badal : sebagai pengganti kiai) bila kiai
sedang berhalangan atau sakit. Kepercayaan itu dilakukannya dengan tekun
dan ikhlas, sehingga tidak heran jika beliau semakin lama semakin
menguasai ilmu-ilmu yang sudah dipelajari di pondok-pondok yang
terdahulu. Di Somolangu ini, berlangsung antara tahun 1919 sampai tahun
1922.
Tahun 1922 sepulang dari Pondok
Somolangu sampai tahun 1925, beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok
Pesantren Lirap Kebumen Jawa Tengah. Walaupun sudah mahir membaca kitab,
namun beliau tidak bosan untuk lebih mendalami kitab-kitab yang telah
dikajinya terdahulu. Di Pondok ini, hanya dua tahun lebih sedikit Ahmad
Marzuqi menempat di Lirap Kebumen. Lalu, pada tahun 1926 sampai tahun
1927, beliau pindah ke Pondok Pesantren Jamsaren yang ada di Solo Jawa
Tengah. Pondok Jamsaren pada saat itu berada di bawah bimbingan KH.
Idris. Sepulang dari Pondok Jamsaren ini, beliau menunaikan ibadah haji
untuk yang pertama kalinya.
Pada tahun 1927 (selepas menunaikan
ibadah haji) sampai tahun 1931, beliau melanjutkan pendidikannya di
Pondok pesantren Krapyak Yogyakarta. Di bawah bimbingan KH. Munawwir,
beliau mewujudkan cita-citanya yang sudah lama terpendam ketika masih
mengaji di Watucongol dahulu, yaitu keinginannya untuk menghafal Alquran
30 juz.
Keinginan itu menjadi kenyataan. Bahkan,
untuk memperlancar hafalannya, beliau membaca ayat-ayat suci itu sampai
khatam, yaitu pada bulan Ramadan saat sholat tarawih. Diceritakan bahwa
selama bulan Ramadan, apabila badannya sehat, beliau khatam Alquran
tiga kali dalam sebulan. Sepuluh hari pertama khatam untuk yang pertama,
sepuluh hari kedua digunakan untuk menghatamkan bacaannya yang kedua
dan sepuluh hari ketiga untuk yang ketiga kalinya.
KH. Ahmad Marzuqi mulai berda’wah
Sepulang dari ngangsu kaweruh di
berbagai pondok pesantren, sekitar tahun 1931, KH. Ahmad Marzuqi mulai
melakukan pengajian-pengajian di berbagai tempat, terutama di desa-desa
di Gunungkidul. Dalam perjalanan untuk mencapai daerah-daerah di
Gunungkidul yang melewati hutan belantara memakan waktu berhari-hari
itu, beliau lakukan dengan berjalan kaki.
Dalam melakukan dakwah di Gunungkidul,
KH. Ahmad Marzuqi atau Mbah Marzuqi -demikian kata santri PPNU- bisa
dikatakan sebagai pembuka jalan bagi keberadaan Islam di daerah
tersebut. Ketika beliau membuka jamaah pengajian yang baru di desa-desa,
beliau Islamkan terlebih dahulu orang-orang yang akan ikut dalam
pengajian tersebut, sehingga semakin hari semakin bertambah jumlah
jamaahnya, semakin banyak pula orang Islam yang ada di desa itu.
Perjalanan dalam berdakwah itu bukan
berarti tanpa mendapatkan rintangan. Rintangan itu datang, baik dalam
perjalanan maupun oleh orang yang tidak suka dengan dakwah yang beliau
lakukan. Diceritakan, ketika dalam suatu perjalanan menuju salah satu
desa di daerah Gunungkidul, harus melewati sebuah sungai yang lebar dan
dalam. Untuk melewatinya harus dengan berenang, karena tidak adanya gatek.
KH. Habib (Putra KH. Ahmad Marzuqi) yang pada waktu itu diajak untuk
menemaninya, tidak berani turun ke sungai karena melihat ada seekor ular
besar di sungai tersebut. Ketika melihat ular di sungai yang siap
menyerangnya, KH. Habib berteriak “Pak, ada ular !” . Teriakan KH. Habib
tidak dijawab oleh Mbah Marzuqi. Beliau hanya menusukkan jari manisnya
di pinggang KH. Habib. Walhasil, dalam waktu sekejap tanpa disadari KH.
Habib, sudah berada di seberang sungai.
Untuk mempersatukan jama’ah pengajian,
Mbah Marzuqi mendirikan masjid atau musala di desa-desa. Hal ini
dimaksudkan agar para jamaah bisa berkumpul dalam satu tempat dalam
melaksanakan kegiatan. Pendirian masjid dan musala ini juga dimaksudkan
agar masyarakat di desa itu apabila salat tidak dilakukan
sendiri-sendiri di rumah, tetapi dilakukan di masjid atau musala dengan
berjamaah.
Untuk melengkapi pembangunan masjid,
beliau mendirikan sekolah-sekolah formal yang tentunya hal ini bertujuan
agar generasi mudanya bisa mendapatkan pendidikan formal. Tercatat ada
130 buah untuk tingkat taman kanak-kanak, 53 buah untuk tingkat Madrasah
Ibtidaiyah, 12 sekolah untuk tingkat MTs dan SMP, 8 sekolah untuk
tingkat MA dan SMA.
Aktivitas dakwah ini masih terus
berlangsung ketika beliau dipercaya memimpin pesantren yang didirikan
oleh sang ayah, KH. Romli, pada tahun 1935. Pondok itu dipimpin oleh
beliau berlangsung sampai dengan tahun 1955. Bahkan, selama memimpin
pondok pesantren tersebut, beliau mendapatkan sambutan yang semakin
hangat dari masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari perkembangan pondok
tersebut yang semakin hari semakin banyak orang yang ikut mengaji.
Selepas Kemerdekaan RI 1945, bumi
Nusantara masih mendapat ancaman dari Belanda, sehingga wajar apabila
pada bulan Agustus setelah kemerdekaan itu orang Belanda masih banyak
yang berseliweran di Indonesia. Orang-orang pribumi yang melihat
tingkah Belanda itu merasa tidak senang sehingga di banyak tempat
dikumpulkan para pemuda untuk digembleng menjadi prajurit yang tangguh.
Mereka diberi ijazah dan amalan serta olah-kanuragan. Salah satu tempat yang digunakan sebagai markas itu adalah pesantren yang dipimpin oleh KH. Ahmad Marzuqi.
Mbah Marzuqi yang semenjak kecil suka
dengan kehidupan sederhana, suka menolong orang lain, dan tidak suka
hidup mewah, mempunyai pandangan hidup bahwa seluruh jiwa dan raganya
semata-mata dicurahkan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Prinsip hidup ini diwujudkan dengan melakukan dakwah dari satu
desa ke desa yang lainnya tanpa pernah mengharapkan imbalan. Dakwah ini
beliau lakukan dengan ikhlas dan semata-mata hanya untuk mengharapkan
ridla dari Allah.
Memang, seorang Kiai seharusnya dalam
berdakwah tidak pernah mengharapkan imbalan. Dalam melakukan dakwahnya,
beliau menyerahkan seluruh harta bendanya kepada mereka yang
membutuhkan. Diceritakan bahwa beliau mempunyai sawah yang luasnya
mencapai 7 hektar dan sapi yang jumlahnya mencapai sekitar 150 ekor.
Harta miliknya itu seluruhnya beliau serahkan pada masyarakat yang
kurang mampu dengan sistem bagi hasil (tidak ada informasi yang
menceritakan berapa bagian untuk beliau dan orang yang diserahi).
Pemberian dengan sistem tersebut semata-mata hanya untuk meringankan
beban yang ada pada masyarakat.
Pertolongan yang beliau berikan
disamping secara materi juga dengan memberikan pengobatan kepada siapa
saja yang memerlukannya. Bahkan, dengan memberikan pengobatan ini,
aktivitas dan pengikut dalam jamaahnya semakin besar sehingga sangat
memudahkan beliau apabila berkeinginan membuka daerah binaan yang baru.
Ilmu ketabiban ini beliau dapatkan di
samping dari ayahnya, KH. Romli juga beliau dapatkan dari semenjak
beliau mondok di pesantren-pesantren. Menurut KH. Habib Marzuqi, salah
seorang putranya bahwa ilmu ketabiban itu beliau peroleh dari KH. Dalhar
Watucongol, KH. Ma’ruf, KH. Kholil Bangkalan, KH. Dimyati Termas, KH.
Dimyati Kebumen dan KH. Abdurrahman. Pemberian pertolongan ini juga
beliau maksudkan sebagai sarana berdakwah.
Membina Rumah Tangga
Sebagai putra bungsu dari lima
bersaudara, KH. Ahmad Marzuqi mendapatkan tongkat estafet dari KH. Romli
untuk meneruskan perjuangannya. Untuk membantu perjuangannya, KH. Ahmad
Marzuqi melangsungkan pernikahan dengan putri dari KH. Arifin (Arjo
Sentono_nama kecil), yaitu Ny. Dasinah. Dari pernikahan ini, menurunkan
dua orang putra yaitu KH. Asyhari Marzuqi (Pengasuh PP. Nurul Ummah
Kotagede) dan Al- KH. Habib Marzuqi (Wates Kulonprogo).
Setelah berpisah dengan Ny. Dasinah,
pada tahun 1949 KH. Ahmad Marzuqi melangsungkan pernikahan untuk yang
kedua kalinya, yaitu dengan Ny. Khadijah. Pernikahan yang kedua KH.
Marzuqi Romli ini juga tidak bertahan lama, kemudian beliau berpisah dan
melangsungkan pernikahan yang ketiga dengan NY. Aminah dari Nglanteng
Imogiri. Dikarenakan kekurang cocokan, maka pernikahan ketiga ini pun
tidak berlangsung lama hanya sekitar 3 bulan, lantas beliau berpisah
kemudian mempersunting wanita untuk terakhir kalinya yakni Ny. Zuhroh
putri KH. Abdullah, dari Getas Gunung Kidul. Dari pernikahan ini,
menurunkan dua putra, yaitu KH. Masyhudi dan KH. Ahmad Zabidi dan
seorang putri, yaitu Hj. Siti Hannah.
Akhir Hayatnya
KH. Ahmad Marzuqi sewaktu hidupnya pernah melarang tentang 3 (tiga) hal. Tiga hal itu adalah pertama,
beliau melarang dan mengharamkan kebijakan pemerintah tentang
diberlakukannya Keluarga Berencana (KB) bagi masyarakat Indonesia. Kedua, beliau melarang dan mengharamkan praktik dunia perbankan. Ketiga, beliau melarang keras anggapan bahwa semua agama di Indonesia adalah baik dan benar.
Larangan ini sekitar awal tahun 80-an,
beliau tanamkan pada setiap tamu yang berkunjung ke rumahnya di
Giriloyo. Tidak memandang apakah tamu itu laki-laki atau perempuan,
kecil atau besar, pegawai biasa maupun pejabat. Semua dilarang untuk
melaksanakan tiga hal tersebut di atas. Begitulah, semua itu berlangsung
sampai pada tahun 1991 di saat beliau akan menghembuskan nafasnya yang
terakhir.
Innalillahi wainna ilaihi rajiuun.
Tanggal 9 Jumadil Akhir 1411 H atau tanggal 14 Desember 1991 M pada
hari Sabtu malam Ahad adalah hari beliau menghembuskan nafasnya yang
terakhir. Seluruh putranya dan masyarakat sekitar sudah berkumpul. Di
saat itulah, beliau berwasiat kepada putra-putra dan seluruh kaum
muslimin untuk membaca do’a Nekto Dinulu. Do’a itu bacaannya adalah sebagai berikut.
Allahumma Nekto Dinulu ahub-ahub ing Allah
Laa ilaaha illa Allah Muhammad rasulullah shalla Allah alaihi wasallam
Allahumma Roh amadep ing Nurullah
Somad-somad kelawan roh idlofi
Jisim rupaku amadep ing cahaya
Ning roh angadep uripku ing cahyane Allah
Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim Ya Ghaffar Ya Aziz
Ya Quddus Ya ‘Alim Ya Karim Ya Arhamarrahimin.
Pagi harinya, ribuan orang datang dari
berbagai daerah untuk memberikan penghormatan yang terakhir. Tidak
sedikit dari para pelayat itu mengetahui meninggalnya KH. Ahmad Marzuqi
lewat mimpi.
Diceritakan, pada malam hari (malam
Ahad) seorang haji di daerah Prembun Kebumen bermimpi kedatangan Mbah
Marzuqi. Dalam mimpi itu, Mbah Marzuqi menyuruhnya untuk pergi ke
Giriloyo dan jangan lupa membawa bakmi. Hari Ahad pagi, sambil
membawakan bakmi pesanan Mbah Marzuqi pak haji dari kebumen itu meluncur
menuju Giriloyo. Sebelum memasuki Giriloyo, haji itu singgah terlebih
dahulu di masjid Pondok Ar-Ramli Wukirsari karena dilihatnya ada ribuan
orang berkumpul. Kemudian pak haji dari kebumen itu bertanya “Ada apa
kok suasananya ramai sekali?” Orang yang ditanya oleh pak haji itu
menjawab bahwa Mbah Marzuqi meninggal. Pak haji tidak percaya karena
tadi malam beliau bermimpi bertemu Mbah Marzuqi dan disuruh ke Giriloyo.
Namun, setelah mengetahui peristiwa yang sebenarnya, pak haji dari
Kebumen itupun kaget.
Begitulah banyak dari para hadirin yang
datang karena mendapatkan mimpi “disuruh ke Giriloyo oleh Mbah Marzuqi”.
Semua masyarakat yang ditinggalkan merasa kehilangan dengan
kepergiannya. Namun apa mau dikata, kita tidak bisa melawan takdir yang
telah ditetapkan oleh Allah. Begitulah, KH. Ahmad Marzuqi telah
mendahului kita dengan menanamkan pijakan yang mantap dan kokoh pada
masyarakat yang ditinggalkan. Semoga amal baik beliau diterima
disisi-Nya dan kita yang ditinggalkan bisa meneruskan apa yang menjadi
cita-citanya. Amin.
2. Biografi Pengasuh PP Nurul Ummah
2.1. KH. Asyhari Marzuqi (1986 s.d. 2004)
H. Asyhari Marzuqi, lahir di
Giriloyo pada hari Selasa Kliwon tanggal 10 November 1939 M atau tanggal
1 Dzulqo’dah 1361 H. Tanggal ini oleh H. Asyhari Marzuqi dikira-kira
sendiri, karena ayahnya (Mbah Marzuqi) tidak menuliskan tanggal
kelahirannya. Beliau hanya berkata pada H. Asyhari Marzuqi, “kamu lahir
pada saat Jepang memasuki kota Yogyakarta”.
Tahun 1949, Asyhari Marzuqi masuk ke
sekolah SR (Sekolah Rakyat) yang ada di Singosaren Wukirsari. Akan
tetapi, karena letak sekolahan ini berdekatan dengan jalan besar yang
sewaktu-waktu ada patroli Jepang, akhirnya sekolah itu diungsikan agak
ke timur, tepatnya di Giriloyo, sampai kira-kira Asyhari kecil menginjak
kelas 2. Kemudian, kelas tiganya pindah lagi ke Singosaren, kelas 4 dan
5 dipindahkan lagi ke Puroloyo Imogiri dan kelas 6-nya pindah lagi ke
Gestrikan (sekarang ada di timur Puskesmas Imogiri).
Lulus dari SR pada tahun 1955, Asyhari
langsung ke Krapyak. Pada saat itu di Krapyak sudah ada pendidikan
tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Pendidikan itu jika ditempuh
secara normal akan memakan waktu selama 10 tahun, yaitu Ibtidaiyah 4
tahun, Tsanawiyah 3 tahun dan Aliyah 3 tahun. Tapi karena kersane
Kiai Ali Maksum (Pengasuh Pondok Krapyak) pendidikan itu oleh H.
Asyhari Marzuqi tidak ditempuh selama 10 tahun, karena terkadang dalam
satu tahun beliau bisa naik dua kali. Ibtidaiyah di tempuhnya selama 2
tahun, Tsanawiyah 2 tahun dan Aliyah 2 tahun. Pada tahun 1959, ketika H.
Asyhari Marzuqi masuk kelas satu Aliyah, oleh KH. Ali Maksum beliau
disuruh ikut mengajar adik-adik kelasnya, sehingga pada saat itu beliau
kalau pagi mengajar dan sorenya sekolah di Aliyah.
Setelah lulus dari Madrasah Aliyah
(1961), beliau ditawari oleh Kiai Ali untuk melanjutkan studinya di
Madinah. Bersama Gus Bik (KH.Attabik Ali, putra KH. Ali Maksum), Asyhari
ikut mendaftar. Akan tetapi, pada saat itu yang berangkat Gus Bik.
Tujuh bulan setelah keberadaannya di Madinah, ternyata Gus Attabik tidak
kerasan, kemudian kembali ke Krapyak. Keinginan Kiai Ali supaya
H. Asyhari Marzuqi menggantikan Gus Bik pun tidak terlaksana, karena
ternyata jatah Gus Bik itu sudah digantikan oleh orang lain. Akhirnya, beliau kembali lagi ke Krapyak untuk mengajar.
Pada suatu hari, H. Asyhari Marzuqi
datang ke pak Kyai Musaddad yang berada di daerah barat Malioboro.
Asyhari mengutarakan keinginan untuk belajar di Timur Tengah. Tetapi
oleh beliau, Asyhari disarankan untuk menempuh jalur yang semestinya,
“Kalau kamu ingin pergi ke Timur tengah, ya harus melewati jalur yang
semestinya, masuklah IAIN.” begitu katanya. Atas saran Kyai Musaddad,
menjelang GESTAPU (Gerakan 30 September oleh PKI), H. Asyhari Marzuqi
masuk ke IAIN Sunan Kalijaga Fakultas Syari’ah jurusan Tafsir Hadits.
Dunia pendidikan pada saat itu sedang
kacau. Pada saat menjelang Gestapu itu hampir semua sekolahan libur.
Sementara di IAIN sendiri sedang terjadi demo besar-besaran terhadap
Rektor ( Prof. Soenaryo). Para demonstran itu meminta Rektor untuk
mundur dari jabatannya dengan tuduhan bahwa Rektor telah melakukan
NU-isasi di lingkungan IAIN, sehingga dengan adanya dua permasalahan
tersebut praktis tidak ada perkuliahan.
Tahun 1968 ketika perkuliahan sudah
aktif (H. Asyhari Marzuqi kira-kira semester 7), oleh Prof. Hasbi
Asshiddiqi, Asyhari Marzuqi dijadikan asisten untuk mengajar adik-adik
yang ada di semester awal untuk mata kuliah Bahasa Arab, Nahwu dan
Shorf. Ketika mengajar itulah H. Asyhari Marzuqi mengenal Malik Madani
(sekarang Dekan Fak. Syariah), Ali As’ad (sekarang politisi) masuk
menjadi mahasiswa baru IAIN.
Untuk membedakan komponen yang ada di
IAIN, pada waktu itu ada atribut yang harus dikenakan oleh seluruh
civitas akademika. Dosen dan Asisten pakai atribut (Badge) warna putih
dan mahasiswa pakai atribut (Badge) warna hijau. Sehingga terkadang
Asyhari Marzuqi kalau pagi pakai atribut warna hijau kemudian siang
pakai yang warna putih.
Pada tahun 1970 oleh Prof. Hasbi,
Asyhari Marzuqi diminta untuk mengajukan permohonan menjadi Dosen di
IAIN. Tapi, karena merasa belum cukup ilmu, beliau tidak menerima
tawaran itu. Akan tetapi dari tawaran itulah, Asyhari terpacu untuk
mencari ilmu sebanyak-banyaknya.
Setelah lulus dari IAIN (tahun 1970),
keinginan untuk belajar ke Timur Tengah kembali menguat. Dengan biaya
sendiri, akhirnya Asyhari Marzuqi ke Timur Tengah. Ia sangat berharap
dapat meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (S2) pada
disiplin ilmu yang telah ditekuni di Indonesia.
Ada kisah yang cukup terkesan menjelang
keberangkatannya ke Timur Tengah. Ceritanya, setelah mendapatkan paspor
dan akan berangkat ke Iraq. Asyhari Marzuqi bermaksud sowan
kepada bapak RH. Suwardiyono (Pendiri dan Ketua Yayasan Pendidikan Bina
Putra) di Gunungkidul. Saat itu masih belum banyak kendaraan angkutan
bis. Sehingga apabila ada bis yang Gunungkidul pasti penuh sesak oleh
penumpang. Bis yang di dalamnya Asyhari Marzuqi menumpang pada saat itu
sudah tidak muat lagi. Karena banyaknya penumpang, akhirnya belasan
orang rela berada di atas atap bis. Asyhari pada waktu itu mendapat
tempat duduk persis di samping kiri sopir dan disebelah kirinya ada
seorang penumpang yang berdiri.
Bis yang penuh sesak oleh penumpang itu melaju menuju Wonosari seperti biasa. Sesampai di tikungan irung petruk (Desa
Karangsari Kec. Patuk), bis masih terkendali. Tetapi setelah tikungan
tajam ke kiri, ternyata bis tidak bisa dikendalikan lagi oleh sopir.
Bahaya pun datang mengancam karena 15 meter di depan bis itu adalah
jurang yang sangat dalam. Sang sopir yang sudah berusaha membanting stir
itu bergumam lirih sekali, “Aduh, mati! Stir patah”. Hanya Asyhari yang
mendengarnya. Benar!. Bis meluncur deras masuk jurang yang dalam itu.
Bis menjungkir dan kepala bis lebih dulu menghantam tanah. Kemudian
jatuh ke kanan. Beliau berserah diri secara penuh kepada Alloh SWT.
Belasan orang meninggal dalam peristiwa
kecelakaan tersebut. Belasan lainnya luka berat. Ada yang patah kaki,
tangan, dan sebagainya. Kekuasaan Allah berbicara lain pada Asyhari.
Hanya karena pertolongan Allah semata beliau dapat selamat. Hanya ada
sedikit luka menggores kulitnya. Padahal secara matematis, mestinya
Asyhari, sopir dan orang yang berdiri itu yang terlebih dahulu terkena
kaca dan menabrak bongkahan batu mengingat posisi bis yang jungkir ke
bawah. Kehendak Allah, orang yang berdiri di samping Asyhari ngglosor
persis di depannya, sehingga posisi Asyhari terhalang oleh orang itu
dari pecahan kaca dan benturan batu. Asyhari selamat, bahkan tidak
mengalami pingsan. Ia kembali ke Yogya dengan selamat. Tetapi dua hari
setelah kejadian itu, seluruh tubuhnya terasa sakit tak terkira.
Asyhari Marzuqi berangkat ke Timur
Tengah dengan negara tujuan Iraq. Orang-orang seperti KH. Abdurrahman
Wahid atau Gus Dur (mantan Presiden RI), KH. Irfan Zidni almarhum
(pernah menjabat Ketua PBNU) dan yang lainnya sudah berada di sana
terlebih dahulu. Beliau berkeinginan untuk menemui mereka. Dengan
membawa nama Bapak Mahfudz Ridwan dari Salatiga beliau menemui mereka.
Kedatangan Asyhari Marzuqi di negeri
seribu satu malam disambut dengan hangat oleh para mahasiswa yang sudah
terlebih dahulu datang. Bahkan Irfan Zidni ikut membantu mencarikannya
beasiswa. Ternyata di Iraq tidak ada beasiswa S2 untuk program Syari’ah.
“Pupus harapanku untuk melanjutkan S2,” kata hatinya. Namun di sana ada
satu kelompok pengajian yang berdiri sejak muridnya Imam Abu Hanifah
(sekitar tahun 400-an Hijriyah). Lembaga ini dipelihara dan dikelola
dengan baik sekali.
Di lembaga yang bernama “Kulliyatul Imam al-A’zhom”
itulah yang akhirnya H. Asyhari Marzuqi kembali memperdalam
pengetahuannya. Waktu itu beliau mendapatkan beasiswa sebesar 15 Dinar
perbulan. 1 Dinar sama dengan US $ 3 waktu itu. Beasiswa tersebut cukup
untuk bekal hidup dan sedikit membeli buku. Beasiswa itu diterimanya
sampai tahun ke-5 berada di Iraq.
Teman-teman belajarnya di Kulliyatul Imam al-A’zhom adalah
para khatib dan alim ulama dari negara-negara Timur Tengah. Sebagian
besar berasal dari Kurdistan. Mereka ini walaupun sudah menjadi khatib
namun belum mempunyai ijazah. Sehingga tidak heran ketika para dosen di
tempat itu justru memanggil kawan-kawan Asyhari Marzuqi dengan panggilan
“ustadz” karena memang umurnya lebih tua.
Orang-orang Kurdistan ini rata-rata
mempunyai daya hafal yang luar biasa. Sehingga Asyhari Marzuqi tidak
kaget apabila kitab-kitab seperti Alfiyah, Shohih Bukhori dan Muslim
mereka hafal semua. Namun, Alhamdulillah H. Asyhari Marzuqi saat
itu masih dapat rangking 3. Prestasi itu membuat H. Asyhari Marzuqi
mendapatkan ucapan selamat (penghargaan) dari Menteri Penerangan RI.
Lima tahun setelah mendapatkan beasiswa,
H. Asyhari Marzuqi bekerja di Kedutaan Besar RI di Iraq. Dubesnya saat
itu adalah Malik Kuswari Mukhtar orang Jakarta. Tugas H. Asyhari Marzuqi
di Kedutaan besar itu pada awalnya adalah menterjemah surat kabar Arab
ke dalam bahasa Indonesia. Sehari beliau terkadang bisa menyelesaikan 3
sampai 4 surat kabar.
Keinginan H. Asyhari Marzuqi untuk
melanjutkan S2 masih tinggi. H. Asyhari Marzuqi berusaha mencari
beasiswa ke Kairo tapi selalu gagal. Akhirnya H. Asyhari Marzuqi
mengambil S2 untuk program kuliah jarak jauh (kalau di Indonesia semacam
UT) yang ada di Kairo Mesir yaitu di “al-Dirasah al-Islamiyah”
dengan biaya pada waktu itu sebesar US $115. Ketika akan mengikuti ujian
masuk program itulah (tahun 1978) H. Asyhari Marzuqi mendapatkan
telegram dari rumah yang isinya “disuruh pulang”. Beliau pulang dengan
meninggalkan ujian.
Sekitar awal Maret 1979 H. Asyhari
pulang ke Indonesia. Sesampai di rumah oleh Mbah KH. Marzuqi beliau
disuruh untuk memilih calon pendamping hidup. Ada beberapa calon yang
ditawarkan untuk beliau, akan tetapi barangkali karena belum jodoh
sehingga pada akhirnya pilihan jatuh pada Hj. Barokah, putri ke-5 dari
KH. Nawawi Abdul Aziz (Pengasuh PP.An Nur Ngrukem Bantul). KH. Asyhari
Marzuqi menikah dengan Hj. Barokah pada Hari Sabtu tanggal 7 April 1979.
Tiga hari setelah menikah beliau mengantarkan isterinya (Hj. Barokah)
ke pondoknya di Kediri. Selanjutnya Dua hari kemudian H. Asyhari kembali
ke Iraq untuk menjalankan aktivitasnya di Negeri 1001 malam tersebut.
Pada bulan Desember 1979 Ibu Hj. Barokah
menyusul ke Bahgdad. Saat itu keinginan beliau melanjutkan untuk S2
sudah melemah. Untuk melanjutkan keilmuannya beliau banyak membaca
kitab-kitab/buku, baik di perpustakaan-perpustakaan maupun
buku/kitab-kitab yang beliau miliki. Kegemaran membaca ini menjadikan
beliau hobi membeli buku/kitab sehingga setiap ada uang dan kesempatan
beliau selalu berusaha untuk mendapatkan atau membelinya. Hal itu
berlangsung sampai akhir hayatnya. Sehingga, ketika kembali ke
Indonesia pada tahun 1985, ada sekitar 1015 judul kitab dan buku yang
telah H. Asyhari Marzuqi beli. Untuk mengirimkan ke rumah di Giriloyo,
H. Asyhari Marzuqi titipkan sebagian kitab-kitab itu kepada para
diplomat pada waktu mereka kembali ke Indonesia. Karena mereka punya jatah
barang bawaan yang banyak lewat kapal laut. Sebagian yang lain
buku-buku itu dikirim lewat jasa Pos. Tetapi tidak semua kitab-kitab
yang dikirimkan, baik yang dititipkan maupun lewat pos itu sampai ke
Giriloyo dengan utuh. Kitab-kitab itu banyak yang hilang dan beliau
tidak tahu di mana hilangnya.
Pembelian kitab-kitab itu ternyata memberikan pengaruh (atsar)
yang besar sekali terhadap hari-hari H. Asyhari Marzuqi selanjutnya.
Beliau tidak bisa membayangkan seandainya uang yang diperoleh dari
pekerjaannya dahulu itu tidak dibelikan kitab, mungkin tidak bisa banyak
meninggalkan kenangan pada generasinya nanti. “Seandainya pada saat itu
gaji yang diperoleh disimpan dalam bentuk uang mungkin sudah habis
sejak dahulu,” kata beliau.
Mengasuh PPNU
Pada tahun 1982, H. Asyhari Marzuqi
mendapat telegram dari rumah yang isinya Mbah Marzuqi telah membeli
tanah (sekarang menjadi bangunan ndalem) dan mendapat tanah wakaf atas
nama H. Anwar yang diserahkan oleh KH. Abdul Muhaimin untuk didirikan
bangunan pondok. H. Asyhari Marzuqi diminta pulang untuk membicarakan
masalah Pondok.
Bulan November tahun 1985 H. Asyhari
Marzuqi meniggalkan negeri Syaikh Abdul Qadir al-Jilani itu untuk
kembali ke tanah kelahiran. H. Asyhari Marzuqi pulang bersama dengan ibu
Nyai Hj. Barokah. Kemudian pada tahun 1986 tepatnya pada bulan Ramadlan
di Pondok Pesantren Nurul Ummah mulai diadakan pengajian. Saat itu ada
27 santri, yang terdiri dari 25 santri putra dan 2 santri putri.
Pandangan Hidup dan Mauidzah
H. Asyhari Marzuqi selalu berusaha
menanamkan rasa pengabdian dan kecintaan, dalam rangka mempersiapkan
akhirat. Tuntunan atau pandangan itu terilhami oleh konsep “Ad-dunya Mazro’atul akhirah” : bahwa dunia itu hanya sekedar sarana untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Dunia itu fana, tidak
kekal, sehingga dengan ketidakkekalannya itu harus dipergunakan dengan
maksimal agar bisa mencapai kebahagiaan akhirat yang kekal. Oleh karena
itulah dunia ini dinamakan darut taklif yaitu tempat mengemban amanat, mengemban tugas-tugas dari Allah Swt. Karena kalau sudah di akhirat nanti bukan lagi sebagai darut taklif, tetapi sebagai darul jaza’ , yaitu suatu tempat untuk menerima upah dan imbalan atas sesuatu yang telah kita lakukan di dunia dahulu.
Karya Tulis
Selama hayatnya, H. Asyhari Marzuqi
tergolong orang yang tekun belajar, sehingga banyak karya yang ia
hasilkan. Diantaranya karya-karya yang beilau hasilkan adalah :
- Wawasan Islam: Menggapai Kehidupan Qur’ani (1998).
- Risalatul Ummah: Kumpulan Tanya Jawab Masalah Keagamaan dan Kemasyarakatan (2001).
- Memikat Hati dengan Al-Qur’an (Targhibul Khathir fil Qur’an). Tafsir atas al-Qur’an surat al-Fatihah, Juz 30, 29 dan 28 (2002).
- Pedoman Umat: Kumpulan Wirid dan Do’a” (2002).
- Risalah Hasan al-Banna : Baiat, Jihad dan Dahwah
- Risalah Hasan al-Bana : Menuju Sinar Terang”. Dua buku ini merupakan hasil terjemahan beliau bersama H. Abdullah Salim Zarkasyi ketika masih di Baghdad Iraq.
Akhir Hayatnya
Innalillahi wainna ilaihi rajiuun.
Hari Selasa tanggal 23 Jumadis Tsani 1425 H atau tanggal 10 Agustus
2004 M, adalah hari beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. Pada
pukul 05.20 WIB di RSU PKU Muhammadiyah beliau meninggalkan dunia ini
untuk menghadap ke haribaan Allah Swt.
Beliau meninggalkan Seorang Istri, Ibu
Hj. Barokah Asyhari dan seorang putra angkat Minanullah serta seluruh
santri putra dan putri PP. Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta.
2.2. Biografi Nyai Hj. Barokah Nawawi (1986-sekarang)
Ibu Nyai Hj. Barokah Nawawi,
pengasuh Pesantren Nurul Ummah Putri ini lahir di sebuah desa Tulusrejo
Kecamatan Grabag Kabupaten Purworejo Jawa Tengah pada tanggal 21 Maret
1961. Beliau adalah putri ke lima dari pasangan KH. Nawawi Abdul Aziz
(pengasuh Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem Bantul Yogyakarta) dan Nyai
Hj. Walidah Munawwir.
Beliau tinggal di desa kelahirannya
kurang lebih dua tahun karena beliau harus mengikuti kedua orang tuanya
pindah ke Krapyak Yogyakarta. Kurang lebih satu setengah tahun tinggal
di Krapyak, kedua orang tuanya pindah lagi ke Ngrukem Bantul
Yogayakarta. Di Ngrukem inilah beliau mulai banyak belajar tentang
tanggung jawab dengan membantu tugas ibunya sebagai pengasuh.
Pendidikan
Minat belajar yang besar sudah nampak
semenjak masa kanak-kanak. Ketika duduk di kelas 3 SD, beliau masuk ke
sekolah agama atau madrasah. Sehingga beliau harus berangkat ke sekolah
pagi dan sore hari, pagi di SD dan pada sore harinya belajar ilmu-ilmu
agama di madrasah di bawah asuhan ayahnya yang saat itu bertempat di
Masjid Ar Ridlo. Beliau juga belajar kitab-kitab klasik kepada sang
ayah, KH. Nawawi dan mengaji Al-Qur’an bin Nadzor kepada sang ibu, Nyai
Hj. Walidah.
Setelah lulus SD tahun 1974, beliau pindah ke Krapyak untuk khidmad
kepada neneknya, Simbah Nyai Siti Khodijah (istri KH. Munawwir yang
terakhir). Di sinilah beliau mulai mengahafal Al-Qur’an. Di Krapyak
beliau mengaji kepada Gus Mad (KH Ahmad Munawir, W 2001) yang terkenal
kefasihan dan ketelitiannya dalam ilmu hafalan Al-Qur’an. Sedangkan di
sisi lain beliau juga terus memperdalam ilmu keagamaannya dengan
mengkaji kitab-kitab klasik di Pondok Putri (sekarang Komplek Nurus
Salam). Beliau baru kembali ke Ngrukem setelah wafatnya Simbah Nyai.
Pada tahun 1976 beliau pindah ke Kediri
untuk menyelesaikan hafalan al-Qur’annya yang saat itu sudah mendapat 7
juz. Di sini beliau memperoleh bimbingan Simbah Nyai Mundzir dan
mengikuti ngaji di PP. Salafiyyah. Karena jiwa kepemimpinan dan
keuletannya beliau diberi kepercayaan untuk mengajar Al-Qur’an pada
santri laju, selain itu juga dipercaya untuk menjadi Penasehat Pengurus
Pondok.
Pada tahun 1979, atau pada usia 18 tahun
beliau menikah dengan H. Asyhari Marzuqi. Saat itu beliau belum khatam
dalam hafalan Al-Qur’annya. Baru saja dua hari setelah pernikahan
beliau dengan Bapak Kyai, Ibu Nyai kembali lagi ke pondoknya di Kediri
dengan diantarkan oleh sang suami, KH. Asyhari Marzuki yang dua hari
kemudian harus kembali lagi ke Iraq. Kemudian setelah delapan bulan
barulah Ibu Nyai menyusul Bapak Kyai Asyhari ke Baghdad. Saat itu
hafalan al-Qur’annya telah mencapai 18 Juz. Sesampai di Baghdad, beliau
dicarikan Madrasah Huffadz oleh Bapak Kyai Asyhari. Maka belajarlah
beliau di Jami’ Buniyah yang dibina oleh ustadz-ustadz dari Mesir,
seperti syekh Muhammad, Syekh Mahmud Ghorib (Seorang ulama yang
disegani, karangannya sudah ada yang diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia). Beliau mengaji kepada kedua ustadz tersebut seminggu dua
kali dengan diantar -jemput oleh Bapak Kyai Asyhari.
Kurang lebih satu tahun kemudian
terjadilah perang Irak-Iran sehingga kondisi kemanan tidak terjamin,
maka oleh Bapak Kyai hendak mengusahakan supaya Ibu Nyai bisa ngaji ke
Kuwait masuk madrasah Huffadz. Akan tetapi sekalipun ada bea siswa hal
itu tidak jadi dilakukan karena kondisi keamanan yang tidak mendukung
serta tidak adanya asrama untuk pelajar putri. Akhirnya Ibu Nyai
dimasukkan ke Kursus Bahasa Arab Khusus Warga Negara Asing dengan jadwal
belajar seminggu tiga kali. Ini pun tidak selesai karena kondisi
keamanan yang kurang mendukung pula.
Di Bahgdad ini Ibu Nyai memiliki peran
penting dalam organisasi Dharma Wanita KBRI Baghdad kurang lebih empat
setengah tahun. Seminggu sekali beliau membimbing ngaji Ibu-ibu dalam
organisasi tersebut yang meliputi; wiridan, sholat, membaca Al-Qur’an
dan sholawat. Selain itu beliau juga memberi privat mengaji pada
anak-anak diplomat seminggu dua kali.
Begitulah kehidupan beliau di negeri
Saddam Husain tersebut, hingga akhirnya pada akhir tahun 1985 M beliau
beserta Bapak Kyai Asyhari boyongan ke Indonesia. Setelah kembali ke
tanah air Ibu Nyai terus melanjutkan hafalannya. Kurang lebih 3 Juz
beliau selesaikan kepada Simbah Nyai Nawawi.
Seperti itulah perjalanan Ibu Nyai Hj.
Barokah Asyhari yang kemudian setelah berdirinya Pondok Pesantren Nurul
Ummah ini beliau mendampingi Bapak KH. Asyhari mengelola dan
mengembangkan Pondok Pesantren Nurul Ummah yang didirikan oleh mertuanya
Bapak KH. Marzuqi. Di samping aktif sebagai pengurus Muslimat Nahdlatul
Ulama cabang Kota Yogyakarta, RMI (Robithoh Ma’ahidil Islami-Asosiasi
Pondok Pesantren) wilayah Yogyakarta, aktif dalam beberapa majlis taklim
dan juga pernah aktif dalam BP4 KUA Kec. Kotagede.
Dalam mengasuh beberapa santriwati di
Pondok Pesantren Nurul Ummah Putri Ibu Nyai memiliki harapan-harapan
yang dalam kepada para santrinya:
· Para santrinya bisa lebih pandai dari Ibu Nyai dalam berbagai hal.
· Para santrinya bisa menjadi sosok tauladan dalam masyarakat.
· Para santrinya menjadi sosok penerang zaman.
· Para santrinya berguna dan bermanfaat bagi masyarakat.
· Para santrinya mampu berjuang dan terampil bekerja serta mandiri.
· Para santrinya menjadi orang yang hidupnya mapan.
· Para santrinya yang telah khafidzoh
mampu membawa diri dalam masyarakat dengan turut serta aktif dalam
kegiatan pengajian atau sema’an Al-Qur’an.
· Para santrinya cepat tanggap dan mampu bertahan menghadapi segala kenyataan hidup.
2.3. KH. Agus Muslim Nawawi (2004-sekarang)
KH. Agus Muslim Nawawi adalah adik
kandung Ibu Nyai Hj. Barokah Nawawi. Beliau lahir pada tanggal 27 April
1968. Beliau pernah mondok di PP. Nurul Ummah. Hafalan Qur’an beliau
dibawah bimbingan langsung ayah beliau, KH. Nawawi Abdul Aziz.
Setelah mendalami keilmuan agama di
Pesantren Ploso beliau menikah dengan Hj. Kholidah putri dari KH.
Muhsin, pengasuh PP. Al-Husain Krakitan Magelang. Dari perkawinan ini
sekarang beliau dikaruniai empat putra.
Beliau sangat sibuk dengan kegiatan
mengajar karena beliau mengajar di berbagai pesantren seperti di PP.
An-Nur Bantul, PP. Al-Husain Krakitan Magelang dan PP. Nurul Ummah.
Sesuai dengan wasiat KH.Asyhari Marzuqi, KH. Agus Muslim Nawawi dimohon
untuk menjadi pengganti beliau mengasuh PP. Nurul Ummah sampai saat
tertentu.
Demikianlah, semoga Allah memberkati pendiri dan pengasuh PPNU ini, sehingga tercapai cita-cita membangun bangsa. Amin
[1] Surat Kuasa Pengurusan Wakaf, tertanggal 1 Nopember 1983.
[2]
Kepengurusan lengkap Yayasan Pendidikan Bina Putra pada awal pendirian
adalah Penasehat: KH. Marzuki (ayahanda KH. Asyhari Marzuqi), K. Nawawi,
R. Damanhuri, H. Abu Dzarin, KH. Musyafa, Pengurus: R.H. Suwardiyono
(Ketua), Drs. H. Asyhari (Wakil ketua I), Nurhadi, BA (Wakil ketua II),
Muhammad Jalal (Sekretaris), Fathoni Hariyono (wakil sekretaris), Drs.
Kusyanto (Bendahara), H. Habib Wates (Wakil bendahara), dengan dibantu
K. Muhtarom, Muhammad Badawi, Zainal Abidin, Ridan, Drs. M. Dharsono, H.
Tasrif, Drs. Abdul Hakim, Suharto, BA, H. Abdullah Hadi.
http://nurulummah.com/profil/sejarah/
http://nurulummah.com/profil/sejarah/
Komentar
Posting Komentar