Nikah lintas agama perspektif hukum perdata
NIKAH
LINTAS AGAMA
BERDASARKAN HUKUM PERDATA DAN HUKUM POSITIF DI
INDONESIA
Makalah
ini di
buat Guna
Memenuhi Tugas
Kelompok
Mata Kuliah: Hukum Perdata
Dosen
Pengampu: Dr. Sri Wahyuni
S.Ag, M.Ag, M.Hum
Di susun oleh:
Muhamad Supriyanto
(14350017)
Al Ahwal Asyakhsiyyah
Fakultas Syariah Dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
BAB I
PENDAHALUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat
dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita
dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga.
Dalam membentuk suatu keluarga tentunya
memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam
hal ini Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan
bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah
perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974,
sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama.
Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh, maka
tidak boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang
menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama.
Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak
menyangkut akidah dan hukum yang sangat penting bagi seseorang. Hal ini berarti
menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat
dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing.
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa
perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri.
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara positif di
Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa sebenarnya perkawinan antar
agama tidak diinginkan, karena bertentangan dengan hukum yang berlaku di
Indonesia. Tetapi ternyata perkawinan antar agama masih saja terjadi dan akan
terus terjadi sebagai akibat interaksi sosial diantara seluruh warga negara
Indonesia yang pluralis agamanya.
Dalam pembahasan kali ini
pemakalah mencoba memberikan perbandingan pernikahan lintas agama menurut hukum
islam dan hukum perdata atau hukum positif yang berlaku di indonesia, agar
dapat menemukan titik celah yang sebenarnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan islam
mengenai nikah lintas agama?
2. Bagaimana pandangan hukum
perdata atau hukum positif di indonesia mengenai sah tidaknya nikah lintas
agama?
BAB II
ISI
NIKAH LINATAS AGAMA/NIKAH BEDA AGAMA
Pengertian Nikah
1. Menurut islam nikah adalah
suatu akad yang memeperbolehkannya hubungan badan atau hubungan intim.
2. Menurut UU No. 1 tahun
1974 bahwa nikah adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
3. Sedangkan dalam hukum
perdata tidak di jelaskan mengenai tarif nikah
Nikah Lintas Agama Menurut Hukum Islam
Nikah beda agama merupakan ikatan lahir batin antara seorang
pria dan wanita yang masing masing berbeda agamanya dan mempertahankan
perbedaan agamanya itu sebagai suami dan istri dengan tujuan untuk membentuk
rumah tangga yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa[1].
Dalam islam nikah
merupakan suatu kesunahan karena memiliki beberapa aspek dalam kehidupan dunia
dan akhirat antara lain aspek ibadah, sosial dan biologis. Nikah lintas agama
atau beda agama merupakn permasalahan yang sangat kompleks sejak zaman para
sahabat hingga saat ini, islam memandang nikah beda agama merupakah hal yang
sangat dilarang karena berdasarkan ayat al qur’an.
Firman allah dalam surat al baqarah 221:
وَلَا
تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن
مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ
يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ
أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُون[2]َ
Artinya: dan janganlah
kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik
hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran. (QS Al
Baqarah: 221)
Akan tetapi adanya kebolehan nikah beda agama
berdasarkan ayat 5 surat al maidah:
الْيَوْمَ
أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ
لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا
آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي
أَخْدَانٍ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي
الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِين[3]َ
Artinya : Pada hari ini Dihalalkan bagimu
yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatandiantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita
yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum
kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya,
tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka
hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi. ( Q.S Al Maidah: 5)
Sebelum masuk kepembahasan yang lebih jauh
kami akan paparkan mengenai pengertian ahli kitab:
·
Pendapat pertama bahwa ahli kitab ialah setiap
umat yang beriman kepada seorang nabi dan mengakui sebuah kitab suci, mencakup
umat yahudi, nasrani dan umat yang mengakui kitab zabur dan suhuf nabi ibrahim
syits.
·
Pendapat kedua, ahali kitab hanyalah umat
yahudi dan nasrani saja dengan sekte sektenya masing masing yang bermacam macam[4]
·
Pendapat ketiga ahali kitab adalah orang orang
yang memiliki agama samawi dan ia tidak menyembah berhala dan dia mempercayai
adanya nabi terakhir.
Dari
ketiga pengertian di atas menimbulkan pertanyaan apakah masih ada ahli kitab
sekarang? Apakah yahudi nasrani serta para umat nabi yang diberikan kitab
sekarang masih bisa dikatakan ahli kitab?
Umar
bin khatab[5] dalam suatu
riwayat dalam kitab targib fi nikah menjelaskan bahwa orang orang ahli kitab
hanya ada pada masa lampau sedangkan orang orang yahudi dan nashrani sekarang
menyembah selain allah karena mereka menuhankan nabi isa dan menuhankan
diantara hamba hamba allah maka ia di anggap musyrik dan orang musrik harom
untuk dinikahi harom pula menikahkannya. Pembuktian tersebut terdapat dalm al
qur’an.
Firman allah
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى
الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ۖ ذَٰلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَاهِهِمْ ۖ يُضَاهِئُونَ
قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن قَبْلُ ۚ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ ۚ أَنَّىٰ
يُؤْفَكُونَ
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ
اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا
وَاحِدًا ۖ لَّا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Artinya: orang-orang Yahudi berkata:
"Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al
masih itu putera Allah". Demikianlah itu Ucapan mereka dengan mulut
mereka, mereka meniru Perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati
Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling.mereka menjadikan orang-orang
alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka
mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah
Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan.(Q.S At Taubah : 30-31)
Kesimpulan yang dapat ditarik dari dalil dalil
di atas adalah agama islam secara mutlak melarang pernikahan beda agama karena
akan menimbulkan konsekuensi hukum yang rumit semisal mengenai waris dan
sengketa pemeliharaan anak dan status agama anak dari pasangan penikahan beda
agama.
Nikah beda agama menurut hukum perdata dan hukum positif di indonesia
Perlu diketahui indonesia
adalah negara plural yang terdiri dari beberapa agama serta faktor budaya yang
memepengaruhi hukum disekitar. Bila dilihat konteknya indonesia merupakan
negaran yang toleran karena kepluralannya akan tetapi ada batasan dalam keberagamaan,
salah satunya adalah mengenai pernikahan dalam setiap agama tentunya telah
mengatur mengenai pernikahan secara tersendiri akan tetapi diera modern ini
banyak orang yang mengatas namakan hak asasi sebagai alasan tertentu sehingga
norma norma agama ia nomerduakan, kompleksitas permasalahan yang muncul adalah
pernikahan lintas agama bagaiman seseorang memandang suatu pernikahan sebagai
hal yang sakral akan tetapi ia tidak meninggalkan apa yang jadi peraturan atu
norma dalam agamnya, disinilah peran pemerintah harus mengatasi problematika
yang ada dalam masyarakat.
Menurut kitab undang
undang hukum perdata nikah dianggap sah ketika seseorang memenuhi persyaratan
yang tercantum dalam bab IV bagian I yang terdiri beberapa pasal antara lain:
pasal 27 mengenai jumlah pernikahan dalam satu waktu. pasal 28 asas persetujuan
bebas dan calon istri dan calon suami, pasal 29 batasan umur perkawinan dan
dispensasi terhadap alasan alasan tertentu perkawinan serta pasal pasal berikutnya.
Dalam bab IV ini tidak disebutkan spesifikasi yang rinci bahwa seseorang tidak
diperbolehkan menikah dengan perbedaan agama. Akan tetapi kitab undang undang
perdata bukan merupakan dasar pengambilan hukum yang di jadikan rujukan mengenai perkawinan karena
keabsahannya telah tergantikan berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan
yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974,
dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan
peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat diartikan bahwa
beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No.
1/1974. Bagi mereka yang
melakukan perkawinan campuran yang tertera dalam undang perkawinan harus
dilakukan menurut hukum suami,apabila suami tunduk terhadap hukum perdata maka perkawinan harus sesuai dengan ketentuan
dalam KUH perdata dan dilangsungkan
dihadapan pegawai pencatat sipil sedangkan jika mempelai pria seorang muslim
maka perkawinan itu harus dilakukan menurut hukum perkawinan islam. Perkawinan
itu harus didaftarkan dalam register tentang pernikahan campuran S.1904 No.279,
keadaan ini makin diperparah pula oleh tajamnya perbedaan dalam asas yang
berlaku dalam perkawinan tersebut, hukun perkawinan eropa yang terdapat dalam
KUHPerdata, hukum perkawinan bagi golongan indonesia kristen dan PPC mengananut
asas perkawinan perdata, hal ini disebutkan secara tegas dalam pasal 26 KUH
Perdata yang menentukan:” undang undang memandang soal perkawinan hanya dalam
hubungan hubungan perdata.” Sedangkan pasal 1 ordonasi perkawinan indonesia
kristen menentukan” undang undang perkawinan hanya dalam gubungan hubungan
keperdataanya”. Peraturan perkawinan campuran tidak secara tegas menyatakan
demikian namun hal itu tersirat dalam ketentuan pasl 7 ayat 2 yang menentukan
bahwa: “perbedaan agama, bangsa atu asal tidak merupakan halangan untuk suatu
perkawinan”. Dari ketentuan ini tersirat bahwa persoalan perkawinan dilepaskan
dari latar belakang agama dan bangsa, jadi hanya dilihat sebagai hubungan
keperdataan semat mata.sedangkan hukum perkawinan islam dan hukum perkawinan
adat masih bersandar kepada hukum agama dan latar belakang budaya[6].
Mengenai
perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat
dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya. Pada pasal 10
PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan
pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan
dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut
undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran
yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU
No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar
agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam
perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan
campuran yang menitik beratkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang
yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.
Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU
No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan
perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena
belum diatur dalam undang-undang perkawinan.
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Telah jelas mengenai materi
yang kami paparkan diatas bahwa perkawinan beda agama menurut hukum islam
dilarang sekalipun ia ahli kitab karena ahli kitab sekarang telah dianggap
musyrik atau kafir dengan dalih menyembah selain allah yang tercantum dalam
surat at taubah ayat 30-31.
Menurut hukum perdata bahwa
nikah beda agama tidak diatur secara jelas karena dalam kitab undang undang
hukum perdata pernikahan sah apabila persyaratan dalam bab IV telah terpenuhi.
Sedangkan menurut hukum positif di indonesia telah diatur dalam UU Perkawinan
No.1 Tahun 1974 mengenai nikah campuran yang mebuahkan beberapa penafsiran yaitu
dengan diartikan nikah beda kewarganegaraan dan pembolehan pernikahan beda
agama., pelanggaran terhadap UU No.1 Tahun 1974 dan undang undang perkawinan
beda agama sama sekali tidak di atur dalam UU No.1 1974.
Dalam hal ini dapat dilihat
bahwa calon suami tunduk terhadap hukum yang mana. Apabila tunduk terhadap
hukum perdata maka pernikahan atau perkawinan tersebut harus sesuai dengan KUH
Perdata yang mana nikah dilangsungkan didepan pegawai pencatat sipil apabila
calon suami beragama islam maka perniakahan tersebut dilakukan dengan hukum
agama islam. Hukum perdata hanya memandang pernikahan dari segi keperdataannya
saja yaitu ikatan atau perjanjian antara keduanya, tanpa melihat status bangsa
agama suku dan ras.
Memanglah
sulit bagi pasangan calon suami istri yang dibatasi oleh keagamaan. dengan
jalan apapun ia tempuh demi terjalinannya ikatan dan pengakuan dari negara
sebagai pasangan yang sah, mereka mencari alternatif menikah diluar negeri dan
mencatatkannya di negara asalnya atau salah satu mereka mengalah untuk
sementara, ketika menikah pihak suami yang non islam masuk islam sebagai syarat
sahnya pernikahan akan tetapi murtad kembali setelah menikah atau sebaliknya.
Sungguh
ironis apabila hal ini terjadi agama di nomer duakan, agama dijadikan permainan,
apakah hal yang demikian akan mendatangkan kebahagiaan? Tentulah tidak, sesuatu
yang diawali dengan tidak benar maka akan berimplikasi bagi pelakunya yaitu
sulitnya mendapat kebahagiaan bahkan kehancuran dalam rumah tangga.
b.
Kritik dan saran
Dalam pemaparan materi diatas
pemakalah sadar bahwa penyajian materi jauh dari kata sempurna maka dari itu
kritik beserta saran yang bersifatnya membangun kami harapkan dari para pembaca
agar kedepannya makalah yang kami buat bisa mendekati kesempurnaan yang diharapkan
oleh para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
EOH, O.S, Perkawinan antar Agama dalam Teori dan Praktek,
Srigunting: Jakarta,
1996,
Prof.DR. Jenie, Siti Ismijati, Sh., CN. Makalah Seminar Tinjauan Yuridis
Terhadap
Pencatatan Perkawinan Beda Agama, Convention Hall UIN Sunan Kalijaga, 10 Oktober 2015
Lihyah, Nurrudin Abu, Halal Harom Dalam Nikah,
Multi Publishing: Yogyakarta, 2013
Muhamad Ali As Salis, Kitab Targhib Fi Nikah, Beirut
Komentar
Posting Komentar