makalah perang mu'tah

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
             Peperangan pada masa nabi bukanlah hal yang mengherankan akan tetapi hal yang harus kita yakini bahwa sejarah peperangan umat islam merupakan warisan sejarah dari perkembangan dan penaklukan serta kejayaan umat islam pada masa lampau, perang yang pernah berlangsung ketika Rasulullah sebelum wafat berjumlah banyak dan bahkan Rasulullah saw ikut dalam peperangan tersebut.
             Kemukzizatan rasulullah tidak terlepas dari peperangan perangan yang terjadi pada saat itu, salah satunya adalah peperangan melawan pasukan romawi yang berhasil memukul mundur bangsa romawi berkat apa yang di sabdakan beliau tentang pengangkatan ke tiga panglima perang kaum muslimin.
             Perang mu’tah merupakah kelanjutan dari pembunuhan utusan Rasulullah kepada Raja Bashrah yang di hadang oleh surahbil selain itu perang ini merupakan awal pembuka dan penaklukan negara atau kota yang di kuasai oleh bangsa romawi, nasrani, dan yahudi. Ini membuktikan bahwa penegakan agama allah harus melalui fase fase pemberitahuan hingga diperangi.









PERANG MU’TAH
Perang mu’tah merupakan peperangan terbesar yang pernah dilakukan oleh kaum muslimin semasa Rasulullah Saw dan juga termasuk peperangan yang menegangkan, karena perang ini merupakan pendahuluan dan jalan pembuka untuk menaklukan negeri negeri nashrani. perang ini terjadi pada jumadil ula 8 H, bertepatan dengan bulan agustus atau september 629 M di daerah bernama mu’tah dusun yang terletak sebelum memasuki wilayah syam.
Latar Belakang Perang ini bermula dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim surat melalui utusannya, Harits bin Umair radhiallahu ‘anhu kepada Raja Bushra. Tatkala utusan ini sampai di Mu’tah (Timur Yordania), ia dihadang dan dibunuh oleh Syurahbil bin Amr Al Ghassani, padahal menurut adat yang berlaku pada saat itu –dan berlaku hingga sekarang- bahwa utusan tidak boleh dibunuh dan kapan saja membunuh utusan, maka berarti menyatakan pengumuman perang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah akibat tindakan jahat ini, beliau mengirim pasukan perang yang dipimpin oleh Zaid bin Haritsah.[1]
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika Zaid mati syahid, maka Ja’far yang menggantikannya. Jika Ja’far mati syahid, maka Abdullah bin Rawahah penggantinya.”
            Beliau juga memerintahkan untuk mendatangi tempat terbunuhnya Al Harits bin Umar lau mengajak penduduk disana agar mau masuk islam. Jikalau mereka mau tetapi jika tidak, kaum muslimin harus memohon pertolongan kepada allah untuk memerangi mereka dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda:
Dengan menyebut nama Allah, perangilah dijalan Allah orang orang yang ingkar terhadap Allah.janganlah kalian berkhianat, jangan berubah,jangan membunuh anak anak, wanita, orang tua yang renta, dan orang orang yang memisahkan diri ditempat peribadatan rahib. jangan menebang pohon kurma dan apapun, serta jangan merobohkan bangunan.”
Ucapan selamat jalan bagi pasukan islam, setelah pasukan umat islam telah siap untuk berangkat orang orang datang mengerumuni mereka. Rasulullah saw pun memanggil para komandan pasukan dan mengucapkan selamat jalan kepada meraka. Ketika itu salah satu dari komandan yang diangkat nabi menangis. Orang orang sempat bertanya tanya mengapa engkau menangis?abdullah bin rawahah menjawab” demi allah aku menangis bukan karena cinta kepada dunia melaikan aku pernah mendengar rasulullah saw membaca ayat alqur’an yang didalamnya disebutkan neraka:
bÎ)ur óOä3ZÏiB žwÎ) $ydߊÍ#ur 4 tb%x. 4n?tã y7În/u $VJ÷Fym $wŠÅÒø)¨B ÇÐÊÈ  
71. dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.
Mereka berkata, Allah pasti menyertai kalian dengan keselamatan, melindungi kalian dan mengembalikan kalian kepada kami dalam keadaan baik dan memperoleh harta rampasan. Kemudian pasukan pun berangkat dan di antar oleh nabi sampai di tsaniayatul wada’ dan beliau mengucapkan selamat jalan.[2]
Pergerakan pasukan islam. Pasukan ini berangkat hingga tiba di Ma’an wilayah Syam dan sampai kepada mereka berita bahwa Raja Romawi bernama Heraklius telah tiba di Balqa bersama 100.000 tentara dan bergabung bersama mereka kabilah-kabilah Arab yang beragama Nasrani yang berjumlah 100.000 tentara sehingga total tentara musuh berjumlah 200.000 tentara. Setelah para sahabat bermusyawarah, sebagian mereka mengatakan, “Kita mengirim utusan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau menambahkan kekuatan tentara atau memerintahkan kepada kita sesuatu.”
Lalu panglima mereka yang ketiga, Abdullah bin Rawahah radhiallahu ‘anhu, menyemangati mereka seraya mengatakan, “Wahai kaum! Demi Allah, sesungguhnya apa yang kalian takutkan sungguh inilah yang kalian cari (yakni) mati syahid. Kita tidak memerangi manusia karena banyaknya bilangan dan kekuatan persenjataan, tetapi kita memerangi mereka karena agama Islam ini yang Allah muliakan kita dengannya. Bangkitlah kalian memerangi musuh karena sesungguhnya tidak lain bagi kita melainkan salah satu dari dua kebaikan, yaitu menang atau mati syahid.”
Maka sebagian mereka berkata, “Demi Allah, Ibnu Rawahah benar.” Lalu mereka berangkat sampai mereka tiba di Balqa tempat musuh berada.
Ini munjukka betapa besar keberanian para sahabat dalam jihad memerangi musuh-musuh Allah, semoga Allah melaknat Syi’ah yang mencela para sahabat.
Permulaan pertempuran dan pergantian komandan, Di  mu’tah itulah kedua pasukan saling berhadapan dan pertempuran pun dimulai. Tiga ribu pasukan muslimin menghadapi gempuran musuh yang berkekuatan 200 ribu personel.
Bendera pun dipegang oleh komandan pertama yaitu zaid bin haritsah, dia bertempur dengan gagah berani dan heroik. Dia terus bertempur hingga terkena tombak musuh dan akhirnya gugur syahid. Setelah itu bendera kepemimpinan dipegang oleh Ja’far bin Abu Thalib. Beliau bertempur juga dengan gagah berani, ketika pertempuran semakin seru beliau terlempar dari kudanya dan kudanya pun terkena senjata. Kemudian beliau bangun dan melanjutkan peperangan hingga tangan kanannya putus tersambat senjata lawan, bendera pun dialihkan ketangan kiri dan terus bertempur hingga tangan kirinnya putus tertabas senjata lawan. Kemudian beliau mendekap bendera tersebut dengan sisa lengan tangannya dan disandarkan pada dadanya dan beliaupun tetap berusaha mengibarkan bendera tersebut.
Dalam riwayat ibnu umar beliau menyebutkan bahwa kondisi Ja’far bin Abu Thalib pada saat itu mengalami setidaknya mengalami 70 luka disekujur tubuhnya baik karena sabetan maupun tusukan. Ini merupakan motivasi bagi kita dalam menegakan agama allah hingga titik darah penghabisan.
oleh Kemudian bendera perang dibawa oleh panglima ketiga. Abdullah bin Rawahah radhiallahu ‘anhu dan berperang hingga mati syahid menyusul kedua rekannya. Agar bendera perang tidak jatuh maka mereka mengangkatnya dan bersepakat untuk menyerahkannya kepada Khalid bin Walid radhiallahu ‘anhu, maka beliau membawa bendera perang.
Setelah peperangan yang luar biasa, keesokan harinya Khalid radhiallahu ‘anhu –dengan kecerdasan siasat baru dengan mengubah posisi pasukannya dari semula; yaitu pasukan depan ke belakang dan sebaliknya, pasukan kanan ke kiri dan sebaliknya, sehingga tampak bagi musuh bahwa kaum muslimin mendapat bantuan tentara yang baru dan menimbulkan rasa takut dalam hati mereka dan menjadi sebab kekalahan mereka.
Nama nama pahlawan syahid umat islam, menurut riwayat ibnu ishaq antara lain:
1.      Ja’far bin Abu Thalib
2.      Zaid bin Haritsah
3.      Mas’ud bin Aswad
4.      Wahb bin Sa’ad
5.      Abdullah bin Rahwahah
6.      Abbad bin Qois
7.      Al Harits bin Nu’man
8.      Abdul Kulaib
9.      Jabir bin Amr Bin Zaid
10.  Suroqoh bin Amr
11.  Amr dan Amir ( putra dari Saad bin Haritsah)[3]

Kesudahan Perang, akhirnya pasukan yang dipimpin oleh khalid bin al walid berhasil memukul mundur tentara romawi berkat siasat yang dibuatnya yaitu dengan mengubah formasi atau melakukan perubahan posisi tentara kaum muslimin dan seolah olah kaum muslimin mendapatkan bala bantuan, ini merupakan hal yang sangat heba yang dilakukan oleh pasukan islam terhad pasukan lawan yang melebihi jumlah pasuka muslim.









Gagasan atau I’tibar dari Perang Mu’tah
  1. Boleh mengangkat beberapa pemimpin dalam satu waktu dengan syarat tertentu dan memimpin secara berurutan.
  2. Kaum muslimin mengangkat Khalid sebagai panglima perang merupakan dalil bolehnya ijtihad di masa hidupnya Rasulullah.
  3. Keutamaan tiga panglima (Zaid, Ja’far, Abdullah bin Rawahah) dan keutamaan Khalid bin Walid sebab dalam peperangan ini Rasulullahh shallallahu ‘alaihi wa sallam menamainya dengan Saifullah (Pedang Allah).
  4. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedih atas kematian tiga panglimanya, menunjukkan rahmatnya kepada umatnya dan bahwasanya beliau berusaha menentramkan jiwanya untuk bersabar terhadap musibah. Dan ini lebih baik daripada yang tidak sedih dan tidak tersentuh oleh musibah sama sekali.
  5. Hakikat hidup dan ‘izzah (kemuliaan) yang disingkap oleh Abdullah bin Rawahah radhiallahu ‘anhu bahwa sesungguhnya kemenangan bukanlah karena kekuatan dan jumlah secara materi, melainkan agama dan ketaatan kepada Allah. Lihat Sirah Nabawiyyah karya Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad: 521-526 dan Sirah Nabawiyyah karya Dr. Akram: 2:267-270







PENUTUP
      Kesimpulan
Perang mutah merupakan perang terbesar yang pernah terjadi antara kaum muslimin dengan orang kafir romawi dan kafir arab dengan pasukan 3000 dari umat islam dan 200.000 dari kalangan kafir arab dan romawi, perang ini merupakan respon terhadap pembunuhan utusan nabi yang diperintahkan dalam misi mengantarkan surat kepada raja heraclius untuk masuk agama islam, membunuh utusan sama juga menantang perang, dan pada pertemuran yang terjadi umat islam menjadi pemenang dengan terbunuhnya 12 orang  dari kaum muslimin termasuk tiga  panglima perang yang diangkat nabi, dan dari pihak lawan banyak yang menjadi korban peperangan saat itu.














DAFTAR PUSTAKA

Syaikh Shafiyyurrahman, Ar Rahiq Al Makhtum, Ummul Quro: Jakarta, 2011.
Ibnu Hisyam, As Sirah Nabawiyyah.
Ibnu Abdil Barr, Ad Durar Fi Sirati Ar Rasul, Darul Uswah:  Yogyakarta, 2010.



                 [1] Syaikh Shafiyyurrahman, Ar Rahiq Al Makhtum, Ummul Quro: Jakarta, 2011, Hlm.686
                 [2] Ibnu Hisyam, As Sirah Nabawiyyah, hlm. 327
                 [3] Ibnu Abdil Barr, Ad Durar Fi Sirati Ar Rasul, Darul Uswah:  Yogyakarta, 2010, hlm.244

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khas dan dalalahnya

biografi pendiri pondok pesantren nurul ummah kotagede YOGYAKARTA

kaidah amr dan nahi