MAKALAH
KEDUDUKAN HADIS DALAM SYARIAT ISLAM
Disusun oleh:
Namaa: Muhamad Supriyanto
NIM: 14350017
Kelas: A
Prodi: Al Ahwal Asyakhsiyah



Fakultas Syariah Dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Tahun 2014/2015

 


BAB I
 PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah
                          Hadits merupakan salah satu sumber hukum di dalam Islam. Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh banyak sumber baik dari Al-Qur'an, al-Hadits  atau bahkan ijma ulama mengenai hal tersebut. Namun meskipun demikian ada sebagian kalangan yang berusaha meragukan al-Hadits  dan mengurangi perannya dalam hukum Islam, atau memberikan beban kepadanya dengan beban yang berlebihan, bahkan sebagian dari mereka menganggap hanya cukup dengan berpegang pada Al-Qur'an saja.
                        Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin membahas mengenai kedudukan  al-Hadits dalam Islam, sehingga dengan adanya pembahasan hal yang terkait dapat memberi wawasan dan kesatuan dalam pandangan mengenai kedudukan hadis dalam syar’i.
B.Rumusan Masalah
Ø  Bagaimana kedudukan hadis dalam syariat agama?
Ø  Bagaiman kedudukan hadis dalam al quran?





BAB II
PEMBAHASAN

A.Kedudukan Hadis Dalam Syariat Islam
                  Berdasarkan berbagai sumber kita akan dapati bahwa sumber-sumber perundang-undangan dalam Islam adalah al-Qur'an dan al-Hadits. Namun meskipun keduanya merupakan sumber pokok dalam Islam, haruslah dijelaskan bahwa kedudukan al-Qur'an itu adalah dasar yang pertama dan utama, sedangkan kedudukan al-Hadits adalah dasar hukum yang kedua setelah al-Qur'an. Hal itu berdasarkan kepada;
Al-Qur'an adalah kitab Allah, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lafal dan maknanya, yang kita (umat Islam) terima dengan jalan yang qath'i[1]. Dia didengar dan dihafal oleh banyak sahabat, dan mereka (para juru tulis wahyu) menulisnya atas perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Al-Qur'an adalah asal (pokok) dan pangkal dari al-Hadits.
Dengan demikian semua yang diuraikan al-Hadits sesungguhnya adalah berasal dari al-Qur'an, dalam artian al-Hadits tidak berdiri sendiri melainkan pokok-pokoknya sudah terdapat dalam al-Qur'an.

Menurut Syatibi[2][2] kedudukan al-Hadits di bawah al-Qur'an berdasarkan alasan-alasan berikut;
1.             Al-Qur'an diterima dengan jalan yang qoth'i, sedangkan al-Hadits diterima dengan jalan dzonny. Keyakinan kita kepada al-Hadits hanya secara global saja, bukan secara mendetail. Sedangkan al-Qur'an global maupun detailnya diterima dan sampai kepada kita dengan jalan meyakinkan.
2.             Al-Hadits adakalanya menerangkan (mem-bayankan) sesuatu yang di-ijmalkan atau yang diringkaskan uraiannya oleh al-Qur'an, adakalanya men-syarahkan al-Qur'an, dan adakalanya mendatangkan hukum yang belum didatangkan al-Qur'an.

Dan bila kita merujuk kepada al-Qur'an, al-Hadits, atau Ijma' para Ulama, maka kitapun akan mendapati kedudukan al-Hadits yang terletak setelah Al-Qur'an. Seperti firman Allah dalam Al-Qur'an yang menempatkan perintah menaati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datangnya setelah perintah menaati Allah.[3][3] Ataupun perintah khusus untuk mengambil apa-apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan dan apa-apa yang Rasulullah larang

Dengan demikian, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa ketaatan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan mutlak, sebagaimana juga ketaatan kepada Allah Swt. Demikian juga dengan peringatan atau ancaman bagi yang durhaka kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti juga durhaka kepada Allah Swt.
Disamping itu banyak keterangan dari al-Hadits yang menjelaskan tentang kewajiban kita menaati Rasulullah dan mengambil hukum darinya. Seperti Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menegaskan;
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ، لَنْ تَضِلُّواْ أَبَدًا مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا فَهُوَ كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Telah aku tinggalkan kepada kalian dua pusaka, yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Al-Qur'an dan al-Sunnah (al-Hadits).

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتيِ وَ سُنَّةَ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِي
Kalian wajib mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaur Rasyidin setelahku.
B. Kedudukan Hadis Dalam Al Quran
      selain kedudukan hadis dalam syariat islam ,hadis juga memiliki kedudukan terhadap al quran antara lain:

1.      Bayan Taqrir atau Bayan Tauqid
      Adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur'an, Sehingga fungsi al-Hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur'an.
contoh:
Allah berfirman dalam al-Qur'an surah al-Maidah ayat 6 tentang keharusan berwudlu sebelum melakukan shalat, yang berbunyi;
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 ... ÇÏÈ 
6. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, ...

Ayat di atas di-taqrir oleh Hadits riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah, yang berbunyi;
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتىَّ يَتَوَضَّأَ (رواه البخاري)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidak diterima shalat seorang hamba yang berhadats sebelum ia berwudlu.[4][15]
2.      Bayan At Tafsir
      yaitu penjelasan al-Hadits terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat yang mujmal, muthlaq, dan Am. Maka fungsi al-Hadits dalam hal ini, memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang masih mujmal (global), memberikan taqyid (batasan) terhadap ayat-ayat yang masih muthlaq, dan memberikan takhshish (pengkhususan) terhadap ayat-ayat yang masih umum.
Misalnya : diharamkan atas kamu memakan bangkai darah daging babi. Kemudian Rasulullah mentakhsiskan kemutlakannya beserta menjelaskan hal lainnya. “dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua bangkai itu adalah bangkai ikan dan belalang sedangkan dua macam darah itu adalah hati dan limpa. (HR. Ibn Majah)

3.      Menetapkan hukum aturan yang tidak diterangkan di dalam al-Qur’an. Misalnya tentang penikahan antara laki-laki dengan perempuan sepersusuan. Hal ini hanya dijelaskan di hadits. Sesungguhnya Allah mengharamkan pernikahan sepersusuan, sebagaimana Allah mengharamkan pernikahan karena senasab. (HR. Muslim) [5]

4.      Bayan Nasakh
Secara bahasa, an-naskh bisa berarti al-ibhtal (membatalkan), al-ijalah (menghilangkan), at-tahwil (memindahkan), atau at-tagyur (mengubah).
Para ulama’ baik muqaddimin maupun muta’akhirin berbeda pendapat dalam mendefinisikan bayan an-nasakh, dalam hal ini mereka terbagi dalam tiga kelompok.
Ø  Pertama, yang membolehkan me-nasakh al-Qur’an dengan segala hadits, meskipun hadits ahad. Pendapat ini diantaranya dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan Ibn Hazm serta sebagian besar pengikut Zhahiriah.
Ø  Kedua, yang membolehkan me-nnaskh dengan syarat hadits tersebut harus mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh mu’tazilah.
Ø  Ketiga, ulama yang membolehkan me-nasakh dengan hadits masyhur, tanpa harus mutawatir. Peendapat ini diantaranya dipegang oleh kaum hanafiyah.
Ø  Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama adalah sabda Nabi SAW, dari Abu Umamah Al-Bahili
5.      ا ن ا لله قد آعطى عل ذ عا حق حقه فلا و صية لوا ر ث (روه احمد والآ ربعة الا النسا ء)
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang haknyan (masing-masing). Maka, tidak ada wasiat bagi ahli waris.”(HR. Ahmad dan Al-Arba’ah, kecuali Al-Nasa’i).
Hadits ini dinilai menasakh isi al-Qur’an QS. Al-Baqarah (2):180 yakni:
6.      |=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎtø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ 
“Diwajiibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu, bapak, dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa”. (QS.Albaqarah:180).[6]












BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Dari uraian diatas dapat di simpulkan bahwa hadis memiliki kedudukan dalam syariat islam sebagai sumber kedua dibawah al quran, dengan criteria hadis itu shohih dan mutawatir yang bisa digunakan sebagai dalil dalam syariat islam.
            di samping itu hadis juga memiliki kedudukan dalam al quran sebagai mubayyan( penjelas) karena didalam al quran terdapat ayat ayat yang belum terperinci sehingga membutuhkan penjelas yaitu hadis.










DAFTAR PUSTAKA
1.      Abbas Mutawali Hamadah, al-Sunnah al-Nabawiyah wa Makanatuh fi al-        Tasyri'.Dar al-Qaumiyah, Kairo


2.      Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, al-        Maktabah al-Islamy, Beirut


3.      Abu Abdillah Muhammad bin Isma'il al-Bukhari, Matan al-Bukhari bi Hasyiah al-Sindi, Syirkah Maktabah Ahmad bin Sa'ad bin Nubhan wa             Auladuh.


4.      Yazid Abdul Qodir Jawas, Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam,          Pustaka At- Taqwa, Bogor, 2005

5.      ibid.

6.      Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, Yogyakarta: STAIN PO Press


[1]      Abbas Mutawali Hamadah, al-Sunnah al-Nabawiyah wa Makanatuh fi al-Tasyri', Dar al-Qaumiyah, Kairo


[2]Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, al-Maktabah al-Islamy, Beirut
[3]Abu Abdillah Muhammad bin Isma'il al-Bukhari, Matan al-Bukhari bi Hasyiah al-Sindi, Syirkah Maktabah Ahmad bin Sa'ad bin Nubhan wa Auladuh.

[4] Yazid Abdul Qodir Jawas, Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Pustaka At-Taqwa, Bogor, 2005.                      cet. 2
[5] ibid.
[6] Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, (Yogyakarta: STAIN PO Press), h.24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khas dan dalalahnya

biografi pendiri pondok pesantren nurul ummah kotagede YOGYAKARTA

kaidah amr dan nahi