makalah tauhid aliran teologi islam
BAB
I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Munculnya aliran
teologi dalam islam berdatangan dengan pergantian kursi kepemimpinan yang di
mulai dari zaman pemerintahan usman bin affan sedikit demi sedikit tumbuh
aliran yang berbeda dalam pemahaman,kemudian pada masa ali bin abi thalib
pertama kali muncul aliran yang mendukung dan mendukung tetapi tidak setuju
dengan keputusan yang diambil oleh ali bin abi thalib mengenai tahkim/arbitase
antara muawiyah bin abi sofyan dan ali bin abi thalib, dari sinilah aliran yg
lain akan bermunculan seperti aliran jabariyah dan qodariyah dan sebagainya.
Pada kesempatan ini
kelompok akmi akan membahas mengenai aliran teologi islam yaitu syiah,mutazilah
dan ahlu sunnah wal jamaah dari segi awal munculnya, tokoh, ajaran hingga
perkembangan aliran tersebut.
Semoga dengan
adanya makalah ini mejadi penjelas dan pemahaman baru buat kita semua selaku
mahasiswa, sehingga kita dapat memahami lebih lanjut tentang .aliran teologi
yang dibahas pada makalh ini.
B.Rumusan
Masalah
1.
Apa latar
belakang kemunculan Aliran Mutazilah?
2.
Siapa
Tokoh Mutazilah?
3.
Bagaimana
Ajaran Mutazilah?
4.
Apa
latar belakang kemunculan Aliran Syiah?
5.
Siapa
Tokoh Syiah?
6.
Bagaimana
Ajaran Syiah?
7.
Apa yang
melatar belakangi munculnya aliran Ahlusunnah Wal Jamaah?
8.
Siapa
tokoh Ahlusunnah Wal Jamaah?
9.
Bagaimana
ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Aliran Mu’tazilah
A.
Latar
belakang munculnya Aliran Mu’tazilah
Kaum Mu`tazilah merupakan sekelompok manusia yang pernah menggemparkan
dunia Islam selama lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang
menghebohkan, selama waktu itu pula kelompok ini telah menumpahkan ribuan darah
kaum muslimin terutama para ulama Ahlus Sunnah yang bersikukuh dengan pedoman mereka.
Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah oleh para kelompok pemuja aliran Mu’tazilah
tersebut muncul di kota Basrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105
- 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan
dan khalifah Hisyam Bin AbdulMalik.
Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang
bernama Washil bin ‘Atha Al-Makhzumi Al-Ghozzal.
Secara umum,
aliran Mu’tazilah melewati dua fase yang berbeda. Fase
Abbasiyah (100 H - 237 M) dan fase Bani Buwaihi (334 H). Generasi pertama mereka hidup di bawah pemerintahan Bani
Umayah untuk waktu yang tidak terlalu lama. Kemudian memenuhi zaman awal
Daulah Abbasiyah dengan aktivitas, gerak, teori, diskusi dan pembelaan terhadap
agama, dalam suasana yang dipenuhi oleh pemikiran baru. Dimulai di Basrah.
Kemudian di sini berdiri cabang sampai ke Baghdad. Orang-orang Mu’tazilah
Basrah bersikap hati-hati dalam menghadapi masalah politik, tetapi kelompok
Mu’tazilah Baghdad justru terlibat jauh dalam politik. Mereka ambil bagian
dalam menyulut dan mengobarkan api inquisisi bahwa “Al Qur’an adalah makhluk”.
Memang pada
awalnya Mu’tazilah menghabiskan waktu sekitar dua abad untuk tidak mendukung
sikap bermazhab, mengutamakan sikap netral dalam pendapat dan tindakan. Konon
ini merupakan salah satu sebab mengapa mereka disebut Mu’tazilah. Mu’tazilah
tidak mengisolir diri dalam menanggapi problematika imamah –sebagai sumber
perpecahan pertama- tetapimengambil sikap tengah dengan mengajukan teori “al
manzilah bainal manzilatain”. Akan tetapi di bawah tekanan Asy’ariah nampaknya
mereka berlindung kepada Bani Buwaihi.[1]
B.
Penamaan “Mu’tazilah”
Mu’tazilah, secara etimologis
bermakna: orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi
yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam
di kalangan tabi’in. Asy-Syihristani berkata: (Suatu hari) datanglah
seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam
agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa
besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu
kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum
Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa
besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap
keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari
keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana
ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini.
Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya
sebagai prinsip (dalam beragama)?”
Al-Hasan
Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau
menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku
pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia
berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak
kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil
tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri
lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: “ اِعْتَزَلَ
عَنَّا وَاصِلً” “Washil telah
memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan
sebutan Mu’tazilah. Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri
dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar (di
bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena
keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq
(dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna)[2].
C.
Ajaran-Ajaran Pokok Aliran Mu’tazila
1.
At- Tauhid (ke-Esaan)
At-tauhid
(pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaranmu’tazilah.
Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini.Namun bagi
mu’tazilah ,tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari
segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaannya.Untuk memurnikan
keesaan Tuhan, Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat. Konsep ini bermula dari founding father
aliran ini, yakni Washil bin ‘Atho. Ia mengingkari bahwa mengetahui, berkuasa,
berkehendak, dan hidup adalah termasuk esensi Allah. Menurutnya, jika
sifat-sifat ini diakui sebagai kekal-azali, itu berarti terdapat “pluralitas
yang kekal” dan berarti bahwa kepercayaan kepada Allah adalah dusta belaka.
Namun gagasan Washil ini tidak mudah diterima. Pada umumnya Mu’taziliyyah
mereduksi sifat-sifat Allah menjadi dua, yakni ilmu dan kuasa, dan menamakan
keduanya sebagai sifat-sifat esensial. Selanjutnya mereka mereduksi lagi kedua
sifat dasar ini menjadi satu saja, yakni keesaan.[3]
Doktrin
tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Juga, keyakinan tidak
ada satupun yang dapat menyamai Tuhan, begitupula sebaliknya, Tuhan tidak
serupa dengan makhluk-Nya. Tegasnya Mu’tazilah menolak antropomorfisme.
Penolakan terhadap paham antropomorfistik bukan semat-mata atas
pertimbanagan akal, melainkan memiliki
rujukan yang yang sangat kuat di dalam Al qur’an yang berbunyi (artinya) :
“ tidak ada satupun yang menyamainya .” (
Q.S.Assyura : 9 ).[4]
2. Al – ‘Adl (keadilan Tuhan)
Ajaran
dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha Adil. Adil ini merupakan sifat yang paling
gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan, karena Tuhan Maha sempurna dia
pasti adil. Faham ini bertujuan ingin
menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia.
Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik dan terbaik. Begitupula
Tuhan itu adil bila tidak melanggar janjinya.
Dengan
demikian Tuhan terikat dengan janjinya. Merekalah golongan yang mensucikan
Allah daripada pendapat lawannya yang mengatakan: bahwa Allah telah
mentaqdirkan seseorang itu berbuat maksiat, lalu mereka di azab Allah, sedang
Mu’tazialah berpendapat, bahwa manusia adalah merdeka dalam
segala perbuatan dan bebas bertindak, sebab itu mereka di azab atas
perbuatan dan tindakannya. Inilah yang mereka maksud keadilan itu.[5]
Ajaran
tentang keadilan berkaitan dengan beberapa hal, antara lain :
a.Perbuatan
manusia.
Manusia menurut Mu’tazilah melakukan dan
menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan.
Manusia benar-benar bebas untuk menentukan
pilihannya. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik. Konsep
ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu apapun yang
akan diterima manusia di akhirat merupakan balasan perbuatannya di dunia.
b. Berbuat baik dan terbaik
Maksudnya
adalah kewajiaban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagimanusia. Tuhan
tidak mungkin jahat atau aniaya karena itu akan menimbulkan persepsi bahwa
Tuhan tidak maha sempurna. Bahakan menurut Annazam, salah satu tokoh mu’tazilah
konsep ini berkaiatan dengan kebijaksanaaan, kemurahan dan kepengasihan Tuhan.
c. Mengutus
Rasul. Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiaban Tuhan karena alasan berikut ini :
1) Tuhan
wajib berbuat baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud kecuali dengan mengutus Rasul kepada mereka.
2) Al qur’an
secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk belas kasih kepada manusia .Cara terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan
pengutusan rasul.
3) Tujuan di
ciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepadaNya dengan jalan mengutus rasul.
3. Al-Wa’ad wa al-Wa’id (Janji dan
ancaman)
Ajaran ini berisi tentang janji dan
ancaman. Tuhan yang Maha Adil tidak akan melanggar janjinya dan perbuatan Tuhan
terikat dan di batasi oleh janjinya sendiri. Ini sesuai dengan prinsip
keadilan. Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan selain
menunaikan janjinya yaitu memberi pahala orang yang ta’at dan menyiksa
orang yang berbuat maksiat, ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia
berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.
4. Al-Manzilah bain Al-Manzilatain (tempat
diantara kedua tempat)
Inilah
ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab mu’tazilah. Ajaran ini
terkenal dengan status orang mukmin yang melakukan dosa besar, seperti
dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut kafir bahkan musyrik,
sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya sepenuhnya di serahkan kepada Tuhan.
Menurut pandangan
Mu’tazilah orang islam yang mengerjakan dosa besar yang sampai matinya belum
taubat, orang itu di hukumi tidak kafir dan tidak pula mukmin, tetapi diantara keduanya.
Mereka itu dinamakan orangg fasiq, jadi mereka di tempatkan di suatu tempat
diantara keduanya.[6]
5. Al
Amr bi Al Ma’ruf wa Al Nahi an Al Munkar (Menyuruh kebaikan dan
melarang keburukan)
Ajaran
ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan
konsekuensi logis dari keimananan seseorang. Pengakuan keimanan harus
dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh
orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan. Perbedaan mazhab
Mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tata
pelaksanaanya. Menurut Mu’tazilah jika memang diperlukan kekerasan dapat
ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.
2. Aliran Syiah
a.Asal
Mula Aliran Syiah
Para penulis sejarah Islam berbeda pendapat
mengenai awal mula lahirnya Syi’ah. Sebagian menganggap Syi’ah lahir langsung
setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara
golongan Muhajirin dan Anshar di Balai Pertemuan Saqifah Bani Sa’idah. Pada
saat itu muncul suara dari Bani Hasyim dan sejumlah kecil Muhajirin yang
menuntut kekhalifahan bagi ‘Ali bin Abi Thalib.
Sebagian yang lain menganggap Syi’ah lahir
pada masa akhir kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan atau pada masa awal kepemimpinan
‘Ali bin Abi Thalib.
Pendapat yang paling populer
adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan
Khalifah ‘Ali dengan pihak pemberontak Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Shiffin,
yang lazim disebut sebagai peristiwa tahkîm atau arbitrasi.[7]
Pendirian kalangan Syi’ah
bahwa ‘Ali bin Abi Thalib adalah imam atau khalifah yang seharusnya berkuasa
setelah wafatnya Nabi Muhammad telah tumbuh sejak Nabi Muhammad masih hidup,
dalam arti bahwa Nabi Muhammad sendirilah yang menetapkannya. Dengan demikian,
menurut Syi’ah, inti dari ajaran Syi’ah itu sendiri telah ada sejak zaman Nabi
Muhammad saw.[8]
Namun demikian, terlepas dari
semua pendapat tersebut, yang jelas adalah bahwa Syi’ah baru muncul ke
permukaan setelah dalam kemelut antara pasukan Mu’awiyah terjadi pula kemelut
antara sesama pasukan ‘Ali. Di antara pasukan ‘Ali pun terjadi pertentangan
antara yang tetap setia dan yang membangkan.[9]
B. Ajaran-Ajaran pokok Syiah
1. Ahlulbait. Secara harfiah ahlulbait
berarti keluarga atau kerabat dekat. Ada tiga bentuk pengertian Ahlulbait.
Pertama, mencakup istri-istri Nabi Muhammad saw dan seluruh Bani Hasyim. Kedua,
hanya Bani Hasyim. Ketiga, terbatas hanya pada Nabi sendiri, ‘Ali, Fathimah,
Hasan, Husain, dan imam-imam dari keturunan ‘Ali bin Abi Thalib. Dalam Syi’ah
bentuk terakhirlah yang lebih populer.
2. Al-Badâ’. Dari segi bahasa, badâ’
berarti tampak. Doktrin al-badâ’ adalah keyakinan bahwa Allah swt mampu
mengubah suatu peraturan atau keputusan yang telah ditetapkan-Nya dengan
peraturan atau keputusan baru. Menurut Syi’ah, perubahan keputusan Allah itu
bukan karena Allah baru mengetahui suatu maslahat, yang sebelumnya tidak
diketahui oleh-Nya (seperti yang sering dianggap oleh berbagai pihak). Dalam
Syi’ah keyakinan semacam ini termasuk kufur.
3. Asyura. Asyura berasal dari kata ‘asyarah,
yang berarti sepuluh. Maksudnya adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram yang
diperingati kaum Syi’ah sebagai hari berkabung umum untuk memperingati wafatnya
Imam Husain bin ‘Ali dan keluarganya di tangan pasukan Yazid bin Mu’awiyah bin
Abu Sufyan pada tahun 61 H di Karbala, Irak
4.
Imamah (kepemimpinan). Imamah adalah
keyakinan bahwa setelah Nabi saw wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam yang
melanjutkan misi atau risalah Nabi.
Atau, dalam pengertian Ali Syari’ati, adalah kepemimpinan progresif dan
revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna
membimbing manusia serta membangun masyarakat di atas fondasi yang benar dan
kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian
dalam mengambil keputusan.
Dalam Syi’ah, kepemimpinan itu mencakup persoalan-persoalan keagamaan dan
kemasyarakatan. Imam bagi mereka adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin
masyarakat. Pada umumnya, dalam Syi’ah, kecuali Syi’ah Zaidiyah, penentuan imam
bukan berdasarkan kesepakatan atau pilihan umat, tetapi berdasarkan wasiat atau
penunjukan oleh imam sebelumnya atau oleh Rasulullah langsung, yang lazim
disebut nash..
5.Mahdawiyah. Berasal dari kata mahdi, yang
berarti keyakinan akan datangnya seorang juru selamat pada akhir zaman yang
akan menyelamatkan kehidupan manusia di muka bumi ini. Juru selamat itu disebut
Imam Mahdi. Dalam Syi’ah, figur Imam Mahdi jelas sekali. Ia adalah salah
seorang dari imam-imam yang mereka yakini. .
6.
Raj’ah. Kata raj’ah berasal dari
kata raja’a yang artinya pulang atau kembali. Raj’ah adalah
keyakinan akan dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah swt yang paling saleh
dan sejumlah hamba Allah yang paling durhaka untuk membuktikan kebesaran dan
kekuasaan Allah swt di muka bumi, bersamaan dengan munculnya Imam Mahdi.
7. Taqiyah. Dari segi bahasa, taqiyah
berasal dari kata taqiya atau ittaqâ yang artinya takut. Taqiyah
adalah sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa karena khawatir akan
bahaya yang dapat menimpa dirinya. Dalam kehati-hatian ini terkandung sikap
penyembunyian identitas dan ketidakterusterangan.Perilaku taqiyah ini
boleh dilakukan, bahkan hukumnya wajib dan merupakan salah satu dasar mazhab
Syi’ah.
8. Tawassul. Adalah memohon sesuatu kepada
Allah dengan menyebut pribadi atau kedudukan seorang Nabi, imam atau bahkan
seorang wali suaya doanya tersebut cepat dikabulkan Allah swt. Dalam Syi’ah, tawassul
merupakan salah satu tradisi keagamaan yang sulit dipisahkan. Dapat dikatakan
bahwa hampir setiap doa mereka selalu terselip unsur tawassul, tetapi
biasanya tawassul dalam Syi’ah terbatas pada pribadi Nabi saw atau
imam-imam dari Ahlulbait. Dalam doa-doa mereka selalu dijumpai
ungkapan-ungkapan seperti “Yâ Fâthimah isyfa’î ‘indallâh” (wahai
Fathimah, mohonkanlah syafaat bagiku kepada Allah), dsb.[10]
9.
Tawallî dan tabarrî. Kata tawallî
berasal dari kata tawallâ fulânan yang artinya mengangkat seseorang
sebagai pemimpinnya. Adapun tabarrî berasal dari kata tabarra’a ‘an
fulân yang artinya melepaskan diri atau menjauhkan diri dari seseorang.
Kedua sikap ini dianut pemeluk-pemeluk Syi’ah berdasarkan beberapa ayat dan
hadis yang mereka pahami sebagai perintah untuk tawallî kepada Ahlulbait
dan tabarrî dari musuh-musuhnya. Misalnya, hadis Nabi mengenai ‘Ali bin
Abi Thalib yang berbunyi: “Barangsiapa yang menganggap aku ini adalah
pemimpinnya maka hendaklah ia menjadikan ‘Ali sebagai pemimpinnya. Ya Allah
belalah orang yang membela Ali, binasakanlah orang yang menghina ‘Ali dan
lindungilah orang yang melindungi ‘Ali.” (H.R. Ahmad bin Hanbal)
D.
Tokoh Tokoh Aliran Syiah
1. Nashr bin Muhazim
2. Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa
al-Asy’ari
3. Ahmad bin Abi ‘Abdillah al-Barqi
4.
Ibrahim bin Hilal al-Tsaqafi
5. Muhammad bin Hasan bin Furukh
al-Shaffar
6. Muhammad bin Mas’ud al-‘Ayasyi
al-Samarqandi
7. Ali bin Babawaeh al-Qomi
8. Syaikhul Masyayikh, Muhammad
al-Kulaini
9. Ibn ‘Aqil al-‘Ummani
10. Muhammad bin Hamam al-Iskafi
11. Muhammad bin ‘Umar al-Kasyi
12. Ibn Qawlawaeh al-Qomi
13. Ayatullah Ruhullah Khomeini
14. Al-‘Allamah Sayyid Muhammad Husain
al-Thabathaba’i
15. Sayyid Husseyn Fadhlullah
16. Murtadha Muthahhari
17. ‘Ali Syari’ati
18. Jalaluddin Rakhmat
19. Hasan Abu Ammar[11]
Sekte Sekte Syiah:
Abdul
Mun’im al-Hafni dalam Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab,
Partai, dan Gerakan Islam, mengklasifikasikan Syi’ah secara rinci sebagai
berikut:
1. Al-Ghaliyah: Bayaniyah, Janahiyah,
Harbiyah, Mughiriyah, Manshuriyah, Khithabiyah, Mu’ammariyah, Bazighiyah,
‘Umairiyah, Mufadhaliyah, Hululiyah, Syar’iyah, Namiriyah, Saba’iyah,
Mufawwidhah, Dzamiyah, Gharabiyah, Hilmaniyah, Muqanna’iyah, Halajiyah, Isma’iliyah.
2. Imamiyah: Qath’iyah, Kaisaniyah, Karbiyah, Rawandiyah,
Abu Muslimiyah, Rizamiyah, Harbiyah, Bailaqiyah, Mughiriyah, Husainiyah,
Kamiliyah, Muhammadiyah, Baqiriyah, Nawisiyah, Qaramithah, Mubarakiyah,
Syamithiyah, ‘Ammar Syamithiyah, ‘Ammariyah (Futhahiyah), Zirariyah (Taimiyah),
Waqifiyah (Mamthurah-Musa’iyah-Mufadhdhaliyah), ‘Udzairah, Musawiyah,
Hasyimiyah, Yunusiah, Setaniyah.
3.
Aliran Ahlusunnah Wal Jamaah
A.
latar belakang munculnya aliran ahlusunnah wal jamaah
Dahulu di
zamaan Rasulullaah SAW.kaum muslimin dikenal satu aqidah dan satu pemahaman.
Bila ada masalah atau beda pendapat antara para sahabat, mereka langsung datang kepada Rasulullah SAW. itulah yang membuat para sahabat saat itu tidak sampai terpecah belah, baik dalam masalah akidah, maupun dalam urusan duniawi.
Kemudian setelah Rasulullah SAW. wafat, benih-benih perpecahan mulai tampak dan puncaknya terjadi saat Ali bin abithalib. menjadi khalifah. Namun perpecahan tersebut hanya bersifat politik, sedang akidah mereka tetap satu yaitu akidah Islamiyah, meskipun saat itu benih-benih penyimpangan dalam akidah sudah mulai ditebarkan oleh Ibin Saba’, seorang yang dalam sejarah Islam dikenal sebagai pencetus faham Syiah (Rawafid).
Tapi setelah para sahabat wafat, benih-benih perpecahan dalam akidah tersebut mulai membesar, sehingga timbullah faham-faham yang bermacam-macam yang menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW.
Bila ada masalah atau beda pendapat antara para sahabat, mereka langsung datang kepada Rasulullah SAW. itulah yang membuat para sahabat saat itu tidak sampai terpecah belah, baik dalam masalah akidah, maupun dalam urusan duniawi.
Kemudian setelah Rasulullah SAW. wafat, benih-benih perpecahan mulai tampak dan puncaknya terjadi saat Ali bin abithalib. menjadi khalifah. Namun perpecahan tersebut hanya bersifat politik, sedang akidah mereka tetap satu yaitu akidah Islamiyah, meskipun saat itu benih-benih penyimpangan dalam akidah sudah mulai ditebarkan oleh Ibin Saba’, seorang yang dalam sejarah Islam dikenal sebagai pencetus faham Syiah (Rawafid).
Tapi setelah para sahabat wafat, benih-benih perpecahan dalam akidah tersebut mulai membesar, sehingga timbullah faham-faham yang bermacam-macam yang menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW.
Saat
itu muslimin terpecah dalam dua bagian, satu bagian dikenal sebagai
golongan-golongan ahli bid’ah, atau kelompok-kelompok sempalan dalam Islam,
seperti Mu’tazilah, Syiah (Rawafid), Khowarij dan lain-lain. Sedang bagian yang
satu lagi adalah golongan terbesar, yaitu golongan orang-orang yang tetap
berpegang teguh kepada apa-apa yang dikerjakan dan diyakini oleh Rasulullah SAW.bersama
sahabat-sahabatnya.
Golongan
yang terakhir inilah yang kemudian menamakan golongannya dan akidahnya Ahlus
Sunnah Waljamaah.Jadi golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah golongan yang
mengikuti sunnah-sunnah nabi dan jamaatus shohabah.
Hal
ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW : bahwa golongan yang selamat dan akan
masuk surga (al-Firqah an Najiyah) adalah golongan yang mengikuti apa-apa yang
aku (Rasulullah SAW) kerjakan bersama sahabat-sahabatku.
Dengan
demikian akidah Ahlus Sunnah Waljamaah adalah akidah Islamiyah yang dibawa oleh
Rasulullah dan golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah umat Islam.
Lebih jelasnya, Islam adalah Ahlus Sunnah Waljamaah dan Ahlus Sunnah Waljamaah
itulah Islam. Sedang golongan-golongan ahli bid’ah, seperti Mu’tazilah,
Syiah(Rawafid) dan lain-lain, adalah golongan yang menyimpang dari ajaran
Rasulullah SAW yang berarti menyimpang dari ajaran Islam.
Dengan
demikian akidah Ahlus Sunnah Waljamaah itu sudah ada sebelum Allah menciptakan
Imam Ahmad, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hambali.Begitu pula sebelum
timbulnya ahli bid’ah atau sebelum timbulnya kelompok-kelompok sempalan.
Akhirnya yang perlu diperhatikan adalah, bahwa kita sepakat bahwa Ahlul Bait adalah orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi SAW. dan mereka tidak menyimpang dari ajaran nabi. Mereka tidak dari golongan ahli bid’ah, tapi dari golongan Ahlus Sunnah.[13]
B. Pembagian Ahlu Sunnah Wal Jamaah
1.Salaf
Salaf menurut berasal dari kata سلف yang
berarti telah lalu, sedangkan menurut istilah adalah segala yang ada
dalam diri Sahabat Rosul, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in,
umat yang sempat mengalami masa pemerintahannya, mengikuti segala
ajarannya, tanpa batasan tempat dan waktu tertentu
Ciri-Ciri Ulama Salaf
1. Mendahulukan Wahyu dari pada akal dalam pengambilan
dalil.
2. Membatasi pengambilan dalil hanya dari Al
Qur’an dan Sunnah.
3. Mengembalikan makna ta’wil kepada “Ahlul
Kalam” yaitu ALLAH SWT.
4.
Menjaga
diri dengan tetap berpegang kepada manhaj/ jalan para sahabat
Tokoh
salaf
1. Imam ibnu hambal
2. Imam maliki
3. Imam syafii
4.
Imam
hanafi
Ajaran Salaf
Dalam
salaf ajaran pokoknya adalah tergantung pada masing masing imam
2.Kholaf
Khalaf berasal
dari kata خلف yang artinya Masa yang datang sesudah.Khalaf menurut
istilah diartikan sebagai jalan para ulama’ modern, walaupun tidak dapat
dikatakan bahwa semua ulama’ modern mengikuti jalan ini.
Tokoh
ulama kholaf
1. Imam Al-Asyar’i
2. Imam Al-Maturidi
Pokok-Pokok
Ajaran
1. Mempercayai bahwa besok di akhirat orang mu’min dapat
melihat Allah SWT sebagaimana dalam firman Allah.
2. Tidak membenarkan ajaran taqiyyah, yakni
melahirkan sesuatu yang bertentangan dengan nurani hanya untuk menipu ummat
Islam.
3. Percaya bahwa sebaik kurun / periode adalah masa
Rasulullah SAW setelah itu adalah Sahabatnya, setelahnya adalah Tabi’in…Tabi’it
Tabi’in … dan seterusnya
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari bahasan di atas dapat
di simpulkan bahwa kemunculan aliran dalam teologi islam baik itu syiah,
mu’tazilah dan ahlu sunnah wal jamaah bermula dari shabat ali yang menyetujui
tahkim dengan muawiyah,dan dari sinilah akan bermunculan aliran aliran dalam
teologi islam bermunculan.
Aliran mu’tazilah
merupakan aliran yang mengedepankan rasio sedangkan syiah berpanutan pada al
quran,hadis dan perkataan imam mereka, khususnya ali dan keluarganya seakan
akan perkataan ali melebihi hadis dan quran. ahlusunnah wal jamaah berpanutan
pada al quran dan hadis dan menolak hadis hadis yang maudu’ dan dhoif aliran
ini hanya menggunakan hadis hadis yang shahih dan mencapai derajat
mutawatir,dan disisi lain dari aliran ini berfikir modern.
Perbedaan dalam
doktrin/ajaran ajaran dalam setiap aliran merupakan pengaruh dari politik atau
juga pengaruh dari penafsiran ayat quran
dan hadis yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam,
penterjemah : Yudian Wahyudi Asmin,(
Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2009).
2.
Al Syahrastani, Al Milal wa Al
Nihal, Beirut : Dar al Fikr
3.
Sharif (ed).. Aliran-aliran Filsafat Islam.
(Bandung : Nuansa Cendekia, 2004).
4.
Thahir Taib, Abd.Mu’in. Ilmu Kalam,
(Jakarta : Penerbit Widjaya, 1986).
5.
Joesoef Sou’yb, Pertumbuhan dan Perkembangan
Aliran-aliran Sekta Syi’ah
(Jakarta: Pustaka Alhusna, 1982).
6.
Abubakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah:
Rasionalisme dalam Islam (Solo:
Ramadhani, t.t.)
7.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997)
8.
Ali Syari’ati, Islam
Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. M.S. Nasrulloh dan Afif Muhammad (Bandung: Mizan Pustaka, 1995)
9.
Al-Hafni, Abdul
Mun’im. Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, terj. Muchtarom.
(Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu,
2006)
[8] Abubakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah:
Rasionalisme dalam Islam (Solo: Ramadhani, t.t.), hlm. 17-21
[9] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet. ke-4, hlm. 5.
[11]
Beliau
adalah salah seorang tokoh Ahlulbait/Syi’ah Indonesia. Karya tulisnya dalam
bidang keislaman antara lain Islam Alternatif (1988), Membuka Tirai
Kegaiban: Renungan-renungan Sufistik (1995), Rintihan Suci Ahli Bait
Nabi (1997), Catatan Kang Jalal (1998), Islam Aktual (1998),
dan Islam dan Pluralisme (2006). Pakar komunikasi yang juga pengasuh SMA
Plus Muthahhari, Bandung, ini adalah Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlulbait
Indonesia (Ijabi). Periode 2004-2008.
Komentar
Posting Komentar